Lihat ke Halaman Asli

Lilik Ummu Aulia

Creative Mommy

Kerakusan Kapitalisme di Balik Kebijakan Ekonomi Hijau (Green Economy)

Diperbarui: 24 April 2021   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, sebagai Governor Bank Dunia dan Alternate Governor IMF untuk Indonesia, mengungkapkan isu terkait dengan pembiayaan untuk pengembangan ekonomi hijau dalam pertemuan IMF dan World Bank Group pada 2021 (bisnis.com, 14/04/2021). 

Pertemuan IMF Fiskal Forum ini, membahas terkait pemulihan ekonomi melalui transisi ekonomi hijau. Sebagaimana diketahui bahwa upaya transisi ekonomi hijau ini membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Oleh karena itu, negara-negara berkembang didorong untuk mengembangkan sumber pembiayaan yang inovatif menggunakan mekanisme pasar dan harga global agar dapat merefleksikan nilai karbon secara nyata. 

Pemerintah Indonesia telah melakukan mobilisasi berbagai instrumen pembiayaan inovatif untuk mendukung kebijakan ekonomi hijau ini. Sejak 2018, pemerintah telah menerbitkan Green Sukuk untuk mendukung ekonomi hijau dan mendukung pencapaian target pembangunan berkelanjutan (SDGs). 

Selain itu, pemerintah juga membentuk Badan Layanan Umum Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya keuangan lingkungan serta memfasilitasi pengembangan perdagangan dan pasar karbon (carbon pricing).

Ekonomi Hijau, Pengalihan Tanggung Jawab Kerusakan Lingkungan yang Dilakukan oleh Negara Maju ke Negara Berkembang

Gas Rumah Kaca (GRK) secara alami dibutuhkan oleh bumi untuk menjaga suhunya agar tetap hangat. Tanpa GRK, bumi akan membeku dan tidak dapat dihuni oleh makhluk hidup, termasuk manusia.

Hanya saja, saat ini, para ilmuwan dan politisi berbagai negara menemukan bahwa jumlah GRK saat ini berada pada level yang membahayakan manusia. Selain itu, GRK ini disebutkan sebagai penyebab yang mengantarkan kepada perubahan iklim secara global. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mengurangi emisi GRK yang sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas industri di negara maju.

Kebijakan-kebijakan internasional untuk menurunkan angka GRK yang terus meningkat, mengalami kegagalan. Berbagai negosiasi yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengimplementasikan UNFCCC 1994 (United Nation Framework Convention on Climate Change), menampakkan hasil yang tidak signifikan. Di antara negara maju terjadi perdebatan, apakah pengurangan emisi GRK akan berpengaruh bahkan menghambat laju pertumbuhan ekonomi ataukah tidak. Oleh karena itu, perdagangan karbon secara internasional ditawarkan sebagai solusi untuk mengatasi dilema tersebut.

Perdagangan karbon inilah yang menjadi inti dari  konsep ekonomi hijau yang di transfer oleh negara-negara maju ke negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia. Dengan konsep ini, negara-negara maju akan tetap bisa melanjutkan industri-industrinya untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi mereka. Negara-negara maju tersebut juga tetap bisa terus mengemisikan GRK dengan membeli kuota karbon dari negara-negara berkembang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tetap akan berkelanjutan (sustainable) dengan penjagaan ekosistem yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.

Pasar Karbon, Bentuk Kerakusan Kapitalisme

Pasar karbon memiliki dua skema utama yaitu "cap and trade" dan "baseline and credit". Skema "cap and trade" melibatkan penyusunan sebuah batas (cap) tertentu terhadap sejumlah emisi yang dapat dilepaskan ke atmosfer oleh sumber emisi selama kurun waktu yang ditentukan. Kemudian, kuota emisi (izin emisi) yang merupakan hak untuk mengemisikan sejumlah GRK bisa diperdagangan melalui skema "trade". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline