Sore ini, sepulang dari kantor saya menyempatkan singgah di sebuah area kuburan di bawah Kampung Tarung. Letaknya persis di sebelah kanan jalan masuk utama kampung itu. Saya tertarik untuk mengabadikan beberapa kuburan yang untuk ukuran di sekitar kampung itu lumayan megah di zamannya. Yang menarik adalah batu kubur itu bercirikan meghalithikum. Batu kubur yang sudah berusia tua itu menjadi ciri khas tersendiri dan keberadaannya tersebar luas di setiap perkampungan adat yang ada di Sumba. Jangan heran bila suatu saat anda berkunjung ke Sumba, batu kubur seperti ini akan anda jumpai di sepanjang perjalanan. Besarnya batu kubur itu bervariasi. Ada yang berukuran panjang empat meter, lebar dua meter dan tinggi dua meter. Saya melihat ada tiga batu kubur yang ukurannya lebih besar dibanding sepuluh batu kubur lain yang ada di situ. Namun itu tidak seberapa besar dibanding dengan sebuah batu kubur raksasa yang saya temui di sebuah desa di Kecamatan Tana Righu. Besarnya kurang lebih panjang tujuh meter , lebar lima meter dan tinggi tiga meter. Sayang saya tidak sempat mengabadikannya karena saat itu saya tengah menemani Bapak Kakanwil dan Ibu dalam sebuah kunjungan keluarga. Batu kubur itu memang dibuat untuk menampung beberapa mayat dari sebuah keluarga. Saya membayangkan betapa repotnya mereka menggeser penutup batu kubur yang beratnya minta ampun sampai terbuka, memasukkan mayat lalu menggeser kembali penutupnya untuk menutup batu kubur itu. Dengan ukuran seperti diatas, ketebalan kurang lebih empat puluh sentimeter, anda pasti tahu untuk menggesernya butuh puluhan tenaga laki-laki dewasa. Pahatan tanduk kerbau di bagian pangkal batu kubur Pahatan ekor kerbau di ujung batu kubur Pahatan kepala dan ekor kerbau di bagian pangkal dan ujung batu kubur itu punya cerita unik tersendiri. Mungkin anda sudah tahu bahwa kerbau adalah hewan utama yang perannya amat penting dalam kehidupan orang Sumba. Dalam setiap pesta dan perayaan adat, puluhan kerbau harus merelakan nyawanya untuk 'ditikam'. Pengorbanannya menjembati 'dunia bawah' dan 'dunia atas'. Dalam kepercayaan Marapu Sumba, seorang yang mati akan mengendarai kerbau untuk bisa mencapai kebahagiaan di 'dunia atas'. Sehingga mereka menyerupakan batu kubur itu sebagai seekor kerbau, kendaraan bagi si mayat. Batu kubur ini dibuat pada tahun 1940 Ketika saya bertanya kepada teman saya, mengapa kuburan mereka harus dibuat seperti itu. Mama Enjel yang penduduk Kampung Tarung menjawab, orang sumba percaya bahwa orang mati tidak layak dikuburkan di dalam tanah, seperti bangkai hewan. Manusia derajatnya lebih tinggi dari pada hewan oleh karenanya meninggalnya pun tidak boleh dikuburkan seperti seekor hewan dikuburkan. Bahkan, dulu si mayat dikuburkan bersama dengan barang kesayangannya. Di Anakalang dan Waingapu, malahan konon hamba sahaya si mayat turut menguburkan dirinya hidup-hidup. Tradisi yang unik tapi sekaligus mencengangkan. Belakangan ini, pembuatan batu kubur di rumah-rumah penduduk umumnya sudah dimodernisasi dengan menggunakan batu bata dan semen, kemudian dihias dengan menggunakan keramik. Ukurannyapun lebih kecil. Untuk memudahkan bila ada mayat yang harus dikuburkan lagi di batu kubur tersebut, dibuatlah semacam pintu kecil dari beton di bagian ujung batu kubur. Praktis dan efisien, sesuai dengan perkembangan zaman kan? Masih banyak cerita menarik di balik keunikan batu kubur Sumba. Tapi rupanya kaki saya sudah ngadat, minta diistirahatkan di atas kasur empuk. Saya pun menyudahi acara jeprat-jepret kamera Blackberry di pekuburan adat Kampung Tarung ini. Sudah waktunya pulang dan memeluk gadis kecilku di rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H