Lihat ke Halaman Asli

Menyambut Hari Buruh Internasional, Gelombang Gerakan Buruh Internasional

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13356969841994262430

[caption id="attachment_185039" align="aligncenter" width="619" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Hari Buruh Dunia yang diperingati setiap tanggal 1 Mei sehingga disebut May Day merupakan puncak peringatan hak-hak buruh sedunia. Pada hari tersebut, banyak unjuk rasa dan berbagai bentuk peringatan lain yang dilakukan oleh buruh maupun aktivis pembela hak-hak buruh. Peringatan hari buruh dunia ini tidak bisa dilepaskan dari nuansa sosialisme yang mulai menarik perhatian dunia sejak Marx mencetuskan teori-teorinya mengenai sosialisme. Marx telah mengkodifikasi teori akademik yang mengusung semangat mengenai perlawanan kelas terhadap sistem kapitalistik. Melalui pemikirannya, yang diteruskan oleh pemikir-pemikir sosialis setelahnya, kelas pekerja yang dalam kasus ini diwakili oleh kaum buruh mendapatkan share hak-hak yang lebih baik. Meski demikian, dalam senjakala abad kapitalisme ini kondisi buruh di banyak negara masih belum bisa dikatakan layak.

Parameter kondisi buruh dalam suatu negara yang dapat kita lacak secara garis besar antara lain upah minimal, kondisi kerja, jaminan (asuransi) dan kebebasan berorganisasi. Parameter pertama paling mudah kita lihat dari upah minimal (di Indonesia disebut UMR-Upah Minimum Regional) yang diberlakukan. Besaran upah minimal biasanya disesuaikan dengan kebutuhan hidup minimal di daerah tersebut. Di sini terdapat semacam ketidakadilan karena kerja keras buruh tidak dihitung berdasarkan asas kelayakan. Artinya buruh masih dikenai tindakan eksploitatif karena upah minimalnya hanya akan cukup menyokong kebutuhan pokok dan sedikit kebutuhan lain. Sistem upah lembur yang cukup menggiurkan sebenarnya merupakan bentuk persuasif dari eksploitasi buruh. Buruh yang hidupnya pas-pasan dari gaji pokok tentu cenderung memilih masuk kerja lembur demi bisa menabung atau mengirim uang kepada keluarga. Padahal buruh sudah bekerja sekitar 8 jam sehari (sistem 3 shift) selama 6 hari seminggu dan kemudian mengambil jam lembur di hari libur, sekitar 6-10 jam. Perhitungan waktu di atas tentu saja tidak 100% akurat, namun sudah cukup menggambarkan betapa buruh tidak bisa lepas dari jerat eksploitasi majikan. Besarnya waktu yang dibutuhkan untuk bekerja membuat buruh cenderung tidak bisa mengaktualisasikan dirinya. Benar tesis Marx mengenai buruh yang kehilangan makna dirinya sehingga diperlakukan sama seperti komoditi sebagai faktor produksi.

Parameter kedua adalah kondisi kerja. Kondisi kerja meliputi lingkungan kerja, peralatan kerja dan relasi baik vertikal (majikan-buruh) maupun horizontal (buruh-buruh). Sebelum millennium ketiga, dunia dikejutkan akan banyaknya kasus kondisi kerja buruh yang tidak layak di beberapa negara berkembang. Selain lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak menjamin keselamatan kerja, terdapat beberapa kasus buruknya hubungan kerja. Buruknya hubungan vertikal terjadi karena sikap eksploitatif dan melecehkan dari majikan (atau supervisor) terhadap buruh. Sedangkan buruknya hubungan horizontal umumnya terjadi karena kondisi frustatif yang dialami buruh dalam pekerjaan. Memang telah terjadi beberapa peningkatan standar kondisi kerja, namun di lapangan masih banyak dijumpai pelanggaran terhadap hal ini. Pabrik-pabrik yang tertutup dan tidak akuntabel terhadap pengawasan publik menyimpan potensi buruknya kondisi kerja.

Parameter ketiga adalah adanya jaminan atau asuransi bagi buruh. Jaminan ini terutama meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian hingga jaminan pensiun. Buruh yang terikat kerja tetap kepada perusahaan biasanya diberikan beberapa jaminan oleh perusahaan. Pemerintah juga mempunyai mekanisme asuransi atau jaminan (kesejahteraan) bagi buruh. Adanya jaminan kesejahteraan yang diterima buruh merupakan indikasi positif sistem perburuhan. Namun, tetap saja ada pabrik-pabrik yang tidak memberikan jaminan tersebut kepada buruh. Adanya jaminan pemerintah menjadi alasan untuk tidak memberikan fasilitas jaminan terhadap buruh. Selain itu, sistem kerja kontrak pendek dan outsourcing membuat perusahaan merasa berhak untuk abai terhadap hak-hak buruh,

Parameter terakhir adalah kebebasan berorganisasi bagi buruh. berorganisasi menjadi penting bagi buruh karena hanya dengan organisasi mereka bisa kuat dan mempunyai posisi tawar yang lebih baik di hadapan majikan. Organisasi buruh bahkan menjadi salah satu pilar demokrasi sosial (social democracy) di negara-negara Skandinavia. Melalui organisasi, buruh memperjuangkan hak dan agendanya sehingga meminimalkan adanya eksploitasi buruh. Pada negara-negara demokratis, tidak serta merta terdapat kebebasan berorganisasi bagi buruh. Organisasi memang ada, namun bukan berarti otomatis hak-hak buruh dapat diperjuangkan dengan baik. Di Amerika Serikat (AS) sekalipun, terdapat upaya pelemahan organisasi-organisasi (serikat) buruh baik secara struktural (legal formal) maupun kultural (demotivasi terhadap serikat buruh). Sekali lagi, sistem kerja kontrak dan outsourcing terbukti melemahkan serikat buruh. Logikanya adalah jika buruh dikontrak dalam waktu singkat maka sulit untuk membentuk organisasi yang solid dalam kurun waktu yang pendek. Di satu sisi outsourcing membuat serikat buruh perusahaan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak terdaftar sebagai karyawan perusahaan (hanya pegawai lepas), sehingga hak-haknya tidak dijamin perusahaan.

Keempat parameter tersebut bisa kita gunakan untuk menganalisis seberapa jauh hak-hak buruh dipenuhi di suatu negara. Sebenarnya ada parameter kelima yaitu aksi buruh, baik dalam May Day maupun hari-hari lain. intensitas aksi buruh, terutama protes mengindikasikan adanya ketidakadilan yang dialami buruh. maraknya aksi protes tentu berbanding lurus dengan tingkat pelanggaran hak-hak buruh. kita tunggu, apakah May Day tahun ini lebih “meriah” dari tahun-tahun sebelumnya atau justru lebih surut. Terlepas dari itu, gerakan buruh terbukti telah menjadi gerakan internasional yang meskipun terkait dengan paham sosialisme tidak berarti menjadi hal yang ditolak oleh buruh di negara “anti-sosialis”. Kesadaran buruh akan hak-haknya semakin besar dan akhirnya menjadi semacam kebutuhan yang harus dipenuhi. Akibatnya, buruh di berbagai belahan dunia serentak memperingati May Day dengan setumpuk tuntutan yang menjadi pekerjaan rumah bagi stakeholders. Momen May Day bisa menjadi ajang evaluasi bagi sistem perburuhan atau ketenagakerjaan dan menjadi masukkan positif bagi perbaikan. Atau sebaliknya, May Day semakin memperumit dilema yang dihadapi negara dalam sistem ekonomi. Akankah negara berdiri kokoh atau justru bersembunyi dalam bayang-bayang pasar? Komitmen politik lah yang akan menjawabnya.

Selamat Hari Buruh Internasional.

Lilik Prasaja, Akademisi,

Ilmu Hubungan Internasional,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Gadjah Mada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline