Lihat ke Halaman Asli

Menerapkan Nilai Kejujuran dalam Pendidikan

Diperbarui: 16 Oktober 2015   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sekolah adalah tempat dimana anak-anak menemukan kejujuran, kesederhanaan . Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar saling mengasihi, belajar saling membagi. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari penipuan, kebohongan, kedustaan, di sana mereka belajar tentang demokrasi, kejujuran, kebebasan berbependapat, cinta kasih. Pokoknya sekolah adalah tempat  memanusiakan manusia yang berkarakter mulia dan berbudi luhur.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi perserta didik pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar, menengah, termasuk pendidikan anak usia dini. Dalam konteks yang lebih luas keberadaan guru dalam proses mengajar menjadi sesuatu yang vital, jika kemudian di maknai secara integral oleh para guru. Sebab salah satu kunci dari keberhasilan dalam proses pembelajaran bukan hanya dilihat dari aspek keberhasilan seorang siswa (murid) mendapatkan nilai yang bagus, tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana seorang guru membangun dan menanamkan nilai-nilai akhlak mulia dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga kemudian diharapkan anak-anak didiknya menjadi anak yang mempunyai karakter, disiplin, mandiri, jujur dan selalu berusaha meningkatkan kemampuan dirinya.

Dan peran guru dalam membangun tradisi (budaya) kejujuran dilingkungan akademiknya sangat penting dan luas. Di anggap sangat penting karena guru sering bersentuhan langsung dengan anak-anak didiknya dalam proses pembelajaran, saat proses itulah peran-peran guru menanamkan tradisi kejujuran kepada siswa-siswinya. Contoh sederhana peran guru dalam membangun tradisi kejujuran kepada murid-muridnya, ketika ulangan, seorang guru harus menyampaikan secara jujur agar tidak menyontek, baik kepada temannya maupun pada buku catatan, pesan itu disampaikan dengan bahasa yang sederhana yang bisa ditangkap anak didiknya dan itu harus dilakukan secara istiqomah dan tidak pernah berhenti menyampaikan pesan-pesan moral. Sehingga pada akhirnya terwujudlah rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, fenomena tentang kemerosotan nilai-nilai moral telah menjadi semacam lampu merah yang mendesak semua pihak, untuk segera memandang penting sebuah sinergi bagi pengembangan pendidikan karakter. Banyak bukti menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ternyata membantu menciptakan kultur sekolah menjadi lebih baik, peserta didik merasa lebih aman, dan lebih mampu berkonsentrasi dalam belajar sehingga prestasi mereka meningkat.

Tetapi kenyataan yang ada sekarang dalam sistem pendidikan, sekolah mau tak mau menjadikan guru  sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat para siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah  menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah/kampus bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili.

Para pengkritik pendidikan melihat proses pendidikan tidak ubahnya sebagai penjara sosial. Dimana proses yang terjadi di kelas adalah pemasungan kreativitas anak didik dan karenanya pendidikan tidak pernah melahirkan manusia yang kritis dan cerdas. Hampir seluruh kegiatan di sekolah belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan  minat siswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras, cinta kepada kejujuran, cinta kesederhanaan. Mentalitas jalan pintas menjadi sebuah pilihan, rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita.

Jeane H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut:

  1. Fungsi sosialisasi, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
  2. Fungsi pelestarian Budaya Masyarakat, Sekolah  juga harus melestanikan nilai-nilai budaya yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.
  3. Fungsi pendidikan dan Perubahan Sosial. Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru, jg dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
  4. Fungsi Sekolah dalam Masyarakat, Fungsi sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya lembaga gereja, masjid, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan. http://cakslamet.blogspot.com/2012/03/nilai-kejujuran-dalam-pendidikan.html

Sesungguhnya peran guru dalam membangun tradisi kejujuran akademik ada tiga aspek, pertama; membangun kejujuran harus dimulai dari dirinya sendiri sebagai seorang guru, yakni antara perkataan, perbuatan dan tindakan harus sesuai dengan norma-norama yang berlaku. Kedua; sebagai seorang guru, yang tugas utamanya adalah mendidik, melatih, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi kepada peserta didiknya, maka guru mempunyai kewajiban untuk membentuk karakter anak didiknya memiliki sikap disiplin, jujur, mandiri, demokratis dan bertangungjawab. Ketiga; guru secara akademik juga mempunyai tanggunjawab untuk membesarkan lembaga (sekolah), maka dalam konteks ini guru harus mampu membangun dan memberi keteladan kepada teman seprofesinya untuk terus menerus menanamkan nilai-nilai kejujuran baik untuk dirinya (teman seprofesi), maupun peserta didiknya melalui mata pelajaran yang di ampu.

Dengan demikian bangunan akademik yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, peserta didik bangga kepada lembaga (sekolah) dan tenaga pendidiknya, guru bangga kepada peserta didik dan lembaganya, kepala sekolah bangga dengan anak didik, guru (pendidik), lembaga (sekolah) yang di nakodainya dan semua bangga dengan satu motto “KEJUJURAN”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline