Lihat ke Halaman Asli

Lilik agus

Langkah Idealisme seorang mahasiswa dimulai dari tulisannya

Kontestasi Keadilan dan Moralitas

Diperbarui: 7 Februari 2021   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

APA KABAR INDONESIAKU? MASIHKAH TERSISA KEADILAN UNTUK RAKYAT KECIL SEPERTIKU

Apa kabar negeri permai indonesiaku?. Negeri yang elok, gemah ripah loh jinawi, negeri kesatuan yang dibangun akan keheterogenannya. Sejarah diukir melalui perjalanan panjang, darah dan letupan senapan jadi saksi bisu perjuangan pahlawan bangsa. Lalu, dengan perjuangan yang mereka korbankan buat para generasinya, masihkah kita merasa layak diperjuangkan oleh mereka, khususnya mereka yang diatas, yang katanya pilar utama untuk reformasi negeri?. Silahkan dibuktikan kalau memang kalian masih punya harga diri, dan jika tidak mau dikatakan pecundang ataupun kaum bedebah.

Bagaimana nasibmu kini wahai ibu pertiwi?. Masihkah engkau menyeka air matamu untuk bangsa ini, masih pilukah engkau menyaksikan fatamorgana keadilan yang semakin lama semakin tak jelas, masih sesak nafaskah engkau melihat nenek-nenek tak berdaya di bui dan para penjilat bangsa tertawa lebar menikmati kekayaan bangsa ini. 

Paradoks kehidupan seolah menjadi daya tarik sendiri di bangsa ini, begitu menariknya menjadi anggota dewan, sehingga seolah-olah hidup mati mereka lakukan untuk bisa mencapainya. Yang bodoh dan dungu itu sebenarnya siapa?, mereka atau kami yang tertipu oleh kebusukan janji mereka.

Hingga saat ini permasalahan hukum di Tanah Air, masih berputar seolah-olah tak menemukan porosnya, hal ini masih menjadi permasalahan yang wajib diselesaikan pemerintah, jika pemerintah mau melakukannya. Kita lihat saja setelah reformasi 15 tahun silam, pemerintah saat itu dianggap tidak cakap dalam menangani keadilan untuk rakyatnya sendiri.

Sebenarnya masalah pokok bangsa ini ialah terletak pada penegakan hukum dan keadilan, termasuk juga pemberantasan korupsi untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan seutuhnya, menentukan arah kebijakan pembangunan yang jumlah penduduk yang hanya terkosentrasi di jawa saja, seolah selain jawa di anak tirikan. Karena jika belum adanya keadilan hukum yang nyata, maka negara ini belum bisa dikatakan merdeka seutuhnya. 

Memang secara de jure indonesia telah merdeka sejak 1945 silam, namun kenyataannya secara de facto, negara ini belum sama sekali bisa dikatakan sebagai negara yang merdeka. Karena apa, pada kenyataannya negara ini masih banyak intervensi dari pihak luar, bahkan hal-hal kecil saja seolah kita dibuat tak berdaya. Karena dari pertama negara kita secara di jure dikatakan merdeka sampai saat ini, keadilan masih belum sepenuhnya dikatakan adil.

Jika dilihat dari segi norma hukum maupun dalam status sosial ekonomi, sudah bukan rahasia lagi bahwa lembaga penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan sama sekali tak bisa diharapkan. Hukum mata pisau benar-benar terjadi negara ini, tumpul keatas yakni bagi orang-orang yang berduit dan punya kuasa, serta tajam kebawah yakni bagi kaum bawah atau rakyat kecil. 

Seperti kejadian seorang nenek di banyumas yang harus masuk bui karena hanya mencuri buah kakao, betapa teragisnya kisah ini, dimana hati nurani oknum bangsa ini, nenek ini untuk makan saja begitu sulitnya tega diperkarakan di meja hijau, lagi-lagi kita bicara tentang pisau keadilan, begitu gampangnya melukai rakyat kecil tanpa memandang belas kasih, hanya karena beberapa buah kakao saja, nenek ini harus dijerat  Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencurian, yang akhirnya dikenai vonis 1 bulan lebih harus mendekam dipenjara, padahal konteks permasalahan ini bisa dilakukan melalui pendekatan restorative justice yang merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi untuk terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. tentu hal ini bertolak belaka dengan hukum para penjilat bangsa?, berapa banyak hak rakyat yang terampas oleh kerakusan mereka itu, namun apakah bisa dibandingkan dengan kepedihan yang dialami nenek tadi.

Dari semua konteks permasalahan di atas, semua ini hanya mengarah kepada satu titik, yaitu keadilan di negeri tercinta ini, apakah dulu para pahlawan kemerdekaan memperjuangkan negeri ini hanya untuk kaum atas, tentunya tidak bukan?, namun mengapa kaum bawah seolah dianggap sebagai anak tiri yang bebas disengsarakan seenaknya sendiri. Maka pada intinya yang dibutuhkan ialah ketegasan dan karakter pemimpin itu sendiri, jika pemimpinnya saja sudah diintervensi oknum, lalu kita minta kepada siapa keadilan, haruskah kita membuat negara tandingan untuk bisa membangunkan mata hati para pemimpin itu sendiri. Maka sebenarnya, buat apa fungsi dewan itu sendiri, jika tidak ada fungsinya, masihkan terus-terusan harus dipertahankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline