Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) punya konotasi mendalam tentang apa itu makna perwakilan, baik secara substansial bahkan teoritis.
Sudah puluhan tahun bangsa ini mendapatkan kemerdekaan secara de jure. Bukan umur yang sebentar bagi berjalannya sistem konstitusional (ketatanegaraan) suatu bangsa.
Jika dilihat dari sistem birokrasi negara, kita tentunya sudah tidak asing dengan Trias Politika (Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif). Tiga sistem tersebut tentunya sudah mempunyai wilayah cakupan masing-masing dalam regulasi pemerintahan di negeri ini.
Seiring bertambahnya usia kemerdekaan, bukannya semakin matang, malahan banyak dari lembaga-lembaga negara memperkeruh situasi bangsa ini, khususnya sistem legislasi yang berjalan hari demi hari.
Belum usai nestapa menghadapi pandemi, tiba-tiba tidak ada hujan atau angin dewan yang dalam supremasi hukum menjadi wakil rakyat (DPR), secara sporadis mengesahkan UU Cipta Kerja.
Tentu hal ini merupakan kejutan bagi kita semua. Kalau kita membahas UU dalam ranah demokrasi, maka pengesahan kemarin sudah cacat secara formil, sebab mekanisme yang sarat akan keterbukaan secara global.
Poin-poin kritis di sini ketika pemegang otoritas tertinggi dalam suatu negara yakni rakyat sangat dibatasi. Padahal UU merupakan suatu langkah jangka panjang dalam keberlangsungan konstitusi suatu negara, otomatis perlu mekanisme panjang, proses sistematis hingga keterbukaan aspirasi seluruh warga negara yang bersangkutan.
Tepat setelah ketok palu pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR, respons negatif seluruh elemen masyarakat begitu besar. Gelombang demonstran mulai menyebar hingga Sabang sampai Merauke, sebab kontroversi dalam pengesahan UU ini.
Banyak asumsi-asumsi yang mulai digiring dalam problematika UU ini, baik dari isu politik antara koalisi dan oposisi, hingga isu-isu permainan politik lainnya.
Namun di sini penulis bukan ingin membahas isu-isu itu semua, tapi ada haluan besar yang perlu ditekankan, yaitu mengenai mekanisme yang terlalu instan untuk suatu UU.