Lihat ke Halaman Asli

Lilik Solekah

Ibu Rumah Tangga

Kelaparan dan Sampah Makan Bukti Kesenjangan Dunia Kapitalistik

Diperbarui: 20 Juli 2024   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri

Oleh: Lilik Solekah, SHI. ( Ibu Peduli Generasi)
 
Ironi, mungkin pepatah tikus mati dilumbung padi ini pantas disematkan di negeri ini. Bagaimana tidak? Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp 213 triliun - Rp 551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Tak sekedar itu ternyata Food Loss and Waste ini bukan sekedar masalah di Indonesia namun juga problem yang dihadapi dunia.

Ketika kita analisa sungguh kejadian seperti ini erat kaitanya dengan pola hidup konsumerisme, dan ini sebagai buah penerapan dari sistem kapitalisme sekuler. Dimana manusia akan hidup dengan keserakahan dan jauh dari akhlak islam.

 Di sisi yang lain hal ini juga menggambarkan adanya mismanajemen negara dalam distribusi harta sehingga mengakibatkan kemiskinan dan  problem lain seperti kasus beras busuk di gudang bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga, bahkan sering terjadi petani marah dengan membuang hasil tanamannya ke sungai, membabat habis tanaman pertanian dan membuangnya sebab tidak ada harga yang layak. Saat bertanam bibit dan pupuk mahal namun saat panen tiba harga hancur terjun payung.

Namun disisi yang lain terdapat kemiskinan yang mencekik. Bahkan penguasa baru akan melakukan tindakan jika kasus kemiskinan tersebut sudah di viralkan. Seperti halnya kasus nenek Nursi yang 3 hari hanya makan daun singkong rebus karena tidak ada beras di rumahnya. Miris!

Lagi - lagi kesenjangan yang sangat tinggi bagai langit dan bumi ini terjadi sebab sistem kapitalisme sekuler yang menjadi landasan. Sebab dalam sistem ini tidak ada penguasa mengurusi urusan rakyat individu per individu. Namun untuk mengukur kemiskinan dan kekayaan sekedar menghitung berapa kepala yang ada di negara kemudian di gandeng dengan adanya harta keseluruhan dibagi dengan jumlah kepala. Sehingga menghasilkan hitungan yang disama ratakan penghasilan penduduk negeri ini. Sedang kenyataannya tidak demikian.

Kita lihat bagaimana para penguasa makan? dua tiga orang namun makanan yang tersaji bisa penuh satu meja besar. Seluruhnya di incip sehingga sisanya akan terbuang begitu saja. Padahal sepiring nasi saja bisa jadi sangat berharga bagi salah satu keluarga di negeri ini. Sungguh manajemen distribusi yang buruk.
 
Berbeda halnya dalam Islam yang punya aturan terbaik dalam mengatur segala hal tentang kehidupan manusia termasuk aturan masalah konsumsi dan juga distribusi sehingga terhindar dari kemubaziran dan berlebih-lebihan.

Dengan pengaturan yang cermat, maka akan terwujud distribusi yang merata dan bisa mengentaskan kemiskinan. Dari sini food waste dapat dihindarkan.

Ditunjang dengan sistem pendidikan islam yang mampu mencetak individu- individu bijak bersikap termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan. Bagaimana bijaknya suri tauladan kita baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau pemimpin umat namun tidak berlebih saat makan sebiji sampai tiga biji kurma telah cukup.Demikian juga bagaimana Khulafaur Rasyidin saat mendapati rakyatnya yang miskin bahkan rela memanggul gandum sendiri dari baitul mal hingga ke rumah janda miskin.

Pemimpin-pemimpin seperti mereka yang kita inginkan, yang kita rindukan akan menjadi kenyataan saat kekhalifahan itu telah kembali memimpin dunia. Sehingga tidak akan ada lagi kesenjangan orang kaya membuang-buang sisa makanan sedang si miskin tidak bisa makan. Baldatun toyyibatun warobbun ghofur akan tercapai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline