Lihat ke Halaman Asli

Liliek Purwanto

TERVERIFIKASI

penulis

Kebudayaan adalah Tunawisma yang Berpindah-pindah Penampungan

Diperbarui: 22 Februari 2024   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kebudayaan. (Sumber gambar: Kompas/Riza Fathoni)

Kebudayaan adalah sisi kehidupan yang kerap dipuja-puji lantaran dianggap menggambarkan kehidupan manusia yang bernilai tinggi. Namun, di sisi lainnya, kebudayaan acap diperlakukan sekadarnya, entah karena apa.

"Nasib" kebudayaan di Indonesia kini tampak cukup merana. Namun, bisa saja berubah di masa mendatang. Kita telah mendengar pertanda itu disuarakan para calon pemimpin bangsa.

Setidaknya, dua pasangan calon (paslon)  presiden dan wakil presiden yang tengah "beradu kekuatan" di ajang pilpres 2024 menyatakan dukungan yang tidak main-main terhadap perkembangan kebudayaan.

Mumpung suasana pilpres belum berlalu, yuk, belajar sedikit ilmu menyangkut netralitas dalam pemilu.

Para paslon itu bertekad menjadikan kebudayaan sebagai kementerian tersendiri. Mereka tidak ingin lagi menyaksikan kebudayaan terus-terusan "menumpang" di kementerian lain seperti praktik dalam pemerintahan selama ini.

Satu paslon yang lain tidak secara langsung menyatakan hal serupa. Saya menduga satu di antara dua kemungkinan ini yang terjadi.

Kemungkinan pertama, paslon itu pernah menyatakannya entah kapan dan di mana, sementara saya tidak mengetahuinya.

Kemungkinan kedua, mereka memang tidak pernah mengucapkannya secara verbal atau menuliskannya dengan huruf-huruf yang terbaca oleh mata. Namun, barangkali, di dalam hati mereka telah tercatat sebuah tekad untuk menjunjung kebudayaan bangsa, entah bagaimana caranya.

Kebudayaan adalah "Anak Telantar" dengan "Uang Jajan" Sekadarnya

Benarkah kebudayaan tidak mendapat tempat yang selayaknya di bumi Indonesia? Ada beberapa hal yang bisa memberi petunjuk bagaimana kebudayaan diperlakukan.

Petunjuk pertama datang dari status kebudayaan di dalam pemerintahan. Hingga saat ini, "kehidupan" kebudayaan masih "merana". Ia tetap menjadi "tunawisma" yang harus "menumpang di rumah orang", dan berpindah-pindah pula.

Kita bisa telusuri kenyataan ini dengan melihat unsur kebudayaan dalam sistem pemerintahan di negara kita. Suatu saat, kebudayaan menjadi "anak angkat" periwisata. Pada kesempatan lain, pendidikan yang menjadi induk semangnya. Pendek kata, kebudayaan tak pernah punya "rumah" sendiri sehingga harus dinaungi kementerian bidang lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline