Penulis besar menuangkan kata karena membaca. Sementara mereka yang mabuk ingin disebut penulis, membaca buku karena mau menulis.
Oh, malunya hati ini, kena sindir Mohammad Fauzil Adhim. Ya, penulis produktif buku-buku motivasi dan masalah keluarga itu telah menulis kalimat di atas dalam bukunya "Inspiring Words for Writers".
Bukan saja saya kerap membaca buku karena mau menulis, bahkan sering pula di tengah proses menulis baru kelabakan mencari-cari buku yang pantas menjadi rujukan.
Dengan kelakuan yang demikian, boro-boro berharap menjadi penulis besar, sekadar mendapatkan sebutan sebagai penulis juga rasanya tak pantas. Lha wong membaca buku masih malas-malasan kok berani-beraninya menyebut diri sebagai seorang penulis.
Membaca Hanya Ketika Sedang Menulis
Membaca hanya ketika membutuhkan referensi saat menulis, ternyata bisa menimbulkan beberapa dampak kurang bagus. Saya mencoba merumuskan beberapa efek kurang baik yang mungkin akan mengikuti kegiatan membaca yang dilakukan secara "terpaksa" hanya karena sedang menyiapkan tulisan bertema serupa dengan topik buku yang dibaca.
Kemungkinan pertama, tema bacaan tidak sesuai dengan minat karena kita harus membaca buku yang sejalan dengan topik tulisan yang sedang kita susun.
Sebab, bisa jadi kita menulis sebuah tema yang sedang ngetrend atau viral meskipun kita tidak menguasai materi yang berkaitan dengan topik itu. Menyantap bacaan yang tidak sejalan dengan minat tentu sulit sekali mengharapkan nikmatnya "rasa" bacaan.
Pada tahap berikutnya, ketidaknikmatan membaca akan berdampak kepada pemahaman, sebagai hasil proses membaca, yang tidak optimal. Tentu akan menjadi sangat sulit mencerna bacaan yang tidak benar-benar kita inginkan karena tidak selaras dengan selera kita.
Kemungkinan kedua, seandainya tema bacaan sejalan dengan minat pun, mungkin kita hanya akan memilah-milah bab-bab yang berkaitan langsung dengan tema tulisan yang tengah kita rancang.
Atau bahkan cuma mencari satu atau dua kalimat saja untuk mendukung pendapat yang akan kita tuliskan.