Barusan terjadi lagi. Sedianya aku hanya akan membeli obat flu untuk anakku di warung kecil milik tetangga. Namun se-strip obat flu yang berisi empat tablet yang kubutuhkan hanya berharga kurang dari tiga ribu rupiah. Dan ini merupakan masalah.
Duit yang ada dalam genggaman tanganku pecahan lima puluh ribuan. Bagian dari enam lembar yang ditarik oleh suamiku dari mesin pintar ATM kemarin sore. Sungguh ngilu perasaanku jika harus membayar harga segitu dengan pecahan segede ini. Nanti si penjual mengira aku meledeknya.
Dengan berat hati, akhirnya sebungkus roti tawar dan seplastik kecil butiran coklat menambah daftar belanjaku pagi ini. Tambahan dua barang yang tak terlalu aku butuhkan saat ini. Kutaksir senilai antara Rp 15.000 hingga Rp 20.000. Dengan ketiga barang itu, aku merasa cukup tenang dan tak perlu menundukkan wajahku saat menyorongkan selembar lima puluh ribuan kepada Bu Yanti, sang pemilik warung.
Sungguh tidak ketemu nalar. Kenapa hidupku begitu dipersulit oleh uang besar. Yang aku maksudkan bukan uang dalam jumlah yang banyak, karena hal itu belum akan jadi masalah bagiku. Namun yang acap mengganggu pola belanjaku dan keluargaku adalah uang dalam pecahan besar.
Sering sekali aku harus membeli barang yang tidak sedang aku butuhkan. Seperti roti tawar dan butiran coklat itu. Bukan karena rakus, apalagi karena banyak duit simpanan. Tapi ya itu, perkara uang pecahan besar.
Sesekali aku sedikit bertengkar dengan suamiku. Bukan karena suamiku kurang memberi uang belanja, apalagi soal lain-lain seperti nafkah batin. Untuk urusan yang terakhir, suamiku tak pernah lupa. Bahkan sering ngasih ekstra. Namun urusan yang menyulitkanku semata-mata karena persoalan pecahan uang.
Pernah aku meninggikan suaraku di depan suamiku. Betapa durhakanya aku kepada suamiku. Gara-garanya, uang receh yang aku kumpulkan beberapa hari dipakainya untuk membayar bensin. Padahal di laci masih terselip dua lembar uang kertas bergambar Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang bisa dipakainya.
Malahan bisa sekalian dapat kembalian uang kecil dari pom bensin. Dua puluh ribu cukup untuk memenuhi tangki sepeda motornya. Lalu dapat pecahan entah 20.000-an, entah 10.000-an atau lima ribuan. Bisa juga kombinasi di antara pecahan-pecahan itu.
Sengaja aku kumpulkan uang receh untuk berbagai keperluan. Aku cukup dibuat pusing setiap pagi oleh ketiadaan uang kecil. Dari mana aku harus memenuhi uang jajan anak-anak? Ketiga anak-anak kami saban pagi menengadahkan tangan minta jatah uang harian.
Dan bila tak ada uang kecil, aku harus menambah-nambah belanja sama tukang sayur biar enak bayar pakai pecahan gede. Rencana cuma mau beli seperempat kilo cabe, jadinya malah memborong tempe dan terong. Mungkin bisa ngutang sama Mamang sayur, tapi suamiku melarang. Katanya,selama sanggup bayar, jangan pernah ngutang.
Pernah sekali kuangsur uang seratus ribuan ke tangan Si Mamang. Waktu itu laci dan dompetku tak menyisakan uang yang lain. Memang ia tidak melayangkan protes. Namun raut mukanya yang telah kusut jadi makin berkerut ketika harus membongkar semua persediaan uang kecil di tas pinggangnya untuk kembalian.
Salah satu yang kusesali di dunia ini, mengapa ATM-ATM sekarang berisi uang pecahan besar semua? Seratus ribuan, atau paling kecil lima puluh ribu. Apakah para bankir tidak pernah baca laporan BPS soal masih banyaknya penduduk di bawah garis kemiskinan? Bahkan yang di atas garis pun belum tentu semuanya tanpa pikir panjang membelanjakan uang besar.
Suamiku punya rekening di bank tidak berarti banyak menumpuk uang di tabungan. Tempat kerjanya mewajibkan seluruh karyawan membuka akun untuk menampung gaji bulanannya. Jadi isi rekening korannya setiap bulan adalah, sekali kredit dan rata-rata lima kali debet melalui mesin ATM. Soal pembayaran yang onlen-onlen itu, aku tak begitu paham.
Kalau harus menukarkan uang ke bank, berapa lagi habis duit untuk ongkos bensin. Dan waktu yang terbuang. Kantor bank cukup jauh dari rumah. Belum lagi antreannya yang panjang. Lagi pula, aku malu menukar uang lima puluh ribu ke bank. Biasanya kan orang ke bank membawa duit sekeranjang.
Aku pernah iseng-iseng menanyakan hal ini kepada seorang teman SMA-ku dulu yang sekarang bekerja di bank, entah sebagai apa. Aku agak sungkan kalau harus menyebut jabatan orang bank. Nama jabatannya keren-keren. Hampir semua pakai bahasa asing.
Kata temanku itu, kalau pecahannya kecil petugas pengisi uang ke ATM bakal kecapekan. Sebentar-sebentar uang habis. Dan sebelum uang habis harus segera diisi lagi. Kalau sampai telat ngisi, wah bisa-bisa dimarahi dan kena sanksi.
Selain itu, seringkali bank juga harus menambah uang lembur untuk mengganti keringat dan waktu petugas yang mengisi uang di luar jam kerja. Kalau keseringan membayar lembur pegawainya, biaya operasional akan naik. Nah, pada akhirnya akan mengurangi keuntungan bank. Seperti itu kata temanku.
Lha, bukannya orang-orang bank selalu bilang bahwa bank itu lembaga pelayanan yang ingin memenuhi kebutuhan nasabah dan memuaskan nasabahnya? Kenapa ketika aku membutuhkan uang kecil, mereka hanya menyediakan uang besar?
Lalu, bagaimana peran pemerintah? Harusnya mereka mencetak uang pecahan kecil jauh lebih banyak. Jika uang besar tak terlalu banyak, tentu saja bank akan kesulitan menyediakan uang untuk ATM mereka. Mau tak mau mereka harus mengganti isi ATM dengan uang pecahan kecil.
Ya ampun. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku. Hanya karena harus menambah belanja lima belas ribu hingga dua puluh ribu, aku harus menggugat pemerintah.
Padahal cucian masih numpuk. Makan siang untuk suamiku belum lagi sempat kumasak. Dan, ya ampun, hari sudah sesiang ini.Sudah waktunya bersiap menjemput si bungsu.
Semoga saja anakku yang lagi sakit segera sembuh. Biar aku nggak harus membeli se-strip obat flu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H