Lihat ke Halaman Asli

Liliek Purwanto

TERVERIFIKASI

penulis

Mohon Maaf, Saya Tak Punya Andil Mengembangkan Lagu Daerah

Diperbarui: 30 Agustus 2019   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: kompas.com

Saya tak memungkiri bahwa saya, sejak masa kanak-kanak hingga sekarang ini, tidak pernah turut serta mengembangkan lagu-lagu daerah. Tak banyak lagu daerah asal kampung saya, Jawa, yang saya kenal. Hanya beberapa gelintir saja. Itu pun hanya mengenal di permukaan saja.

Padahal semasa kecil, bapak saya telah mengenalkan lagu-lagu Jawa kepada saya, terutama melalui dongeng-dongeng sebelum tidur. Di antara dongeng-dongeng yang beliau ceritakan, terselip beberapa lagu daerah di dalamnya. Salah satu yang saya ingat, lagu "Sigra Milir" dalam kisah Joko Tingkir.

Lagu ini menjadi semacam soundtrack dalam cerita Joko Tingkir yang saya nikmati menjelang tidur malam. Konon lagu ini menceritakan sepenggal perjalanan Joko Tingkir mengarungi Bengawan Solo menunggang rakit atau gethek dalam bahasa Jawa. Uniknya, perjalanannya diiringi 40 ekor buaya. Seperti itulah saya menerjemahkan makna lagu itu semasa ditembangkan oleh bapak saya puluhan tahun silam.

Dalam penelusuran yang saya lakukan kemudian, saya mendapati beberapa penafsiran atas lagu ini. Ada yang menafsirkan lirik yang terkandung dalam tembang itu simbol semata. Buaya yang disebutkan di sana bukanlah jenis binatang buas melata seperti yang kita kenal, tetapi perlambang bahwa perjuangan Joko Tingkir didukung oleh 40 penguasa. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa buaya sebagai simbol segerombolan perompak yang mengganggu perjalanan si calon pendiri kerajaan Pajang itu. Entah mana yang benar.

Sesuai usia saya ketika itu, lagu-lagu Jawa yang--entah sengaja entah tidak--diperkenalkan bapak saya melalui dongeng-dongengnya bertema perjuangan dan kepahlawanan. Namun sayang, entah mengapa pengalaman masa kecil itu ternyata tak menggugah ketertarikan saya untuk lebih mendalami tembang-tembang Jawa.

Secara umum, tembang-tembang Jawa tentu saja menggambarkan karakter orang Jawa pada umumnya, lemah lembut penuh tata krama dan kadang-kadang gemulai. Selain itu, liriknya kebanyakan bermuatan wejangan khas para tetua untuk menjaga tingkah polah anak-anak manusia.

Sementara itu, semasa muda saya lebih menggemari musik-musik berirama enerjik yang membangkitkan spirit. Lengkingan gitar elektrik dan dentum drum pada latar belakangnya merupakan sumber inspirasi yang seringkali mampu membangunkan badan dan jiwa ini dari keinginan untuk bermalas-malasan sepanjang hari.

Saya tidak mengatakan bahwa lagu Jawa mengajak orang menjadi malas. Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa saya lebih tersemangati oleh jenis musik yang cenderung beraliran rada kenceng. Seandainya beritme slow-pun, tetap memilih musik dengan iringan gitar listrik yang melengking dan gebukan drum cukup menggetarkan dada. Tentu saja garukan gitar dan gebukan drum-nya selow juga.

Maka, lagu-lagu semacam "Stairway to Heaven" dan "Sordier of Fortune"-lah yang lebih sering menemani hari-hari saya melewati masa muda. Juga God Bless patut saya sebut sebagai salah satu grup penghibur asal negeri sendiri.

Nah, saya cukup kesulitan menemukan karakter musik semacam itu dalam tembang-tembang yang berasal dari tanah Jawa.Masa berikutnya, saya sempat "berkenalan" dengan beberapa lagu Jawa dalam tema yang berbeda. Jika harus menyebutkan salah satunya, saya akan menunjuk lagu "Walang Kekek" yang dipopulerkan oleh diva langgam Jawa, Ibu Waldjinah.

Tembang Jawa yang satu ini berlirik jenaka. Berkisah tentang kehidupan sehari-sehari yang sering terjadi di masyarakat. Menilik beberapa bait liriknya, lagu ini bisa dibilang pantun yang dinyanyikan. Coba simak sebait lirik dalam tembang ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline