Lihat ke Halaman Asli

Liliek Purwanto

TERVERIFIKASI

penulis

Cerpen | Terlepas dari Belenggu Listrik

Diperbarui: 9 Agustus 2019   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: kompas.com

"Huh!"

Lirih tapi bernada berat Ikhsan bersungut-sungut saat keluar dari kamarnya. Mukanya sungguh tak sedap dipandang mata. Padahal beberapa menit sebelumnya, aku masih mendengar teriakan-teriakan kecilnya yang bersemangat. Gelora suaranya menjalar dari balik pintu kamarnya yang berhiaskan ornamen geometris warna warni.

Kegelisahan tampak mencolok di permukaan wajah lonjongnya yang agak lebih tua dibandingkan usianya. Wajah itu telah banyak berubah bila dibandingkan dengan kondisi pada masa kecilnya. Masih terbayang jelas wajah imut yang sering kuremas-remas dengan gemas kala itu.

Anak yang kini memasuki periode awal masa SMA itu berjalan ke ruang depan, duduk sebentar di kursi tamu. Lalu beranjak ke teras muka. Sejenak ia berdiri memandang ke depan, entah apa yang ditatapnya. Kembali ia memasuki rumah, tapi kelihatannya ia bingung hendak menuju ke mana.

Hari masih belum terlalu siang. Pada hari libur seperti hari Minggu ini, biasanya Ikhsan betah berlama-lama di kamarnya. Ia menjadi semacam induk ayam yang tengah mengerami telur-telurnya. Pantang meninggalkan petarangan sebelum muncul retakan-retakan pada kulit telur-telurnya, yang kemudian perlahan-lahan memunculkan anak-anak ayam generasi penerusnya.

Jika sedang berperan bak induk ayam menghangati telur-telurnya, Ikhsan tak mungkin mengingat waktu. Jangankan diminta tolong memasang galon air minum ke dispenser, kutawari kue lumpur kesukaannya pun acap kali ia enggan beranjak dari peraduannya. Adakalanya aku menyesali keputusan kami menyediakan sarana laptop beserta wifi di kamarnya.

Aku sempat beberapa kali agak naik pitam dan menceramahinya panjang lebar saat aku merasa ia sudah kebablasan. Makan siangnya hendak diangkutnya ke kamar. Itu pun setelah lima atau enam kali kuteriaki dan kugedor-gedor pintunya karena waktu makan siang sudah terlampau lama berlalu.

Yang semakin membuatku murka, ia menjalankan ibadah salat Zuhur dengan kecepatan melebihi kecepatan suara. Ah, itu uangkapan kejengkelanku saja. Lalu, di mana letak kekhusukan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakannya? Bagaimana bisa salat menjadikannya terhindar dari perbuatan keji dan mungkar kalau menjalaninya seperti itu?

Hal yang sama terjadi saat Asar tiba. Suara azan yang mengalun dari musala tak lagi mengusiknya. Semburan meradang yang kugelontorkan berulang sekian kali baru menyadarkannya. Menyadarkannya? Kelihatannya tidak. Aku kira lebih tepat memaksanya.

Selain bunyi musik, sesekali menyembul suara teriakan-teriakan asing dari laptopnya yang aku kurang jelas apa maknanya. Lalu ada bunyi 'tring trang' semacam suara dua batang logam beradu. Dan suara-suara gemuruh entah apa itu. Begitulah "orkestra" yang selalu tersaji dalam kamar Ikhsan hampir sepanjang matanya melek selama masa libur sekolah atau tanggal-tanggal merah lainnya.

Dari seberang kamar Ikhsan, mendadak terdengar dengus kesal seorang anak perempuan. "Aduh! Apa-apaan sih, ini! Tiba-tiba mati semua! Mana panasnya nggak ketulungan!!!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline