Benarkah trotoar dibangun untuk pejalan kaki? Secara teori, begitulah adanya. Mari kita simak beberapa definisi trotoar yang telah dirancang oleh berbagai institusi.
KBBI mengartikan trotoar sebagai tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki. Menurut Wikipedia, trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan.
Sementara itu sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 3 tahun 2014, definisi trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keselamatan pejalan kaki (suaramerdeka.com).
Semua definisi trotoar menyatakan bahwa barang ini dirancang dan dibangun bagi pejalan kaki. Namun melihat kondisi trotoar di berbagai tempat di negeri kita ini, apakah angan-angan para perancang trotoar terpenuhi? Saya agak sangsi.
Di kebanyakan kota di Indonesia, fungsi trotoar bagi pejalan kaki sudah nyaris punah karena digantikan oleh pihak-pihak lain yang memaksakan diri. Saya mencatat keberadaan trotoar telah dikuasai oleh setidaknya tiga fungsi. Kehadiran mereka telah menyingkirkan para pejalan kaki.
Pertama, trotoar dijadikan tempat untuk mendirikan tenda pedagang kaki lima. Fungsi ini sudah sangat familier bagi kita, karena kita gampang menemukannya di mana-mana. Hampir sepanjang hari pengalihan fungsi trotoar menjadi tempat berdagang terjadi.
Perampasan trotoar dimulai sejak pagi hari ketika para penjual sarapan semacam bubur ayam atau berbagai jenis soto melayani para pembeli. Kemudian berlanjut menjelang siang hari saat pedagang siomay hingga gado-gado menata menu makan siang mereka. Dan menjadi semacam estafet saat di sore dan malam bahkan hingga dini hari, warung-warung pecel lele dan sejenisnya mulai menggelar santap malam bagi warga yang lalu lalang.
Dan bukan hanya pedagang makanan yang mengadu nasib di trotoar. Penjual mainan anak-anak seperti balon beraneka rupa hingga penjaja barang kebutuhan sehari-hari semacam kaos kaki dan kacamata pun ikut berebut rezeki di lahan yang sebenarnya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
Nah, justru para pejalan kaki yang harus bersabar diri. Mereka harus gesit jika melewati lokasi ini. Saya jadi ingat waktu mengikuti ujian SIM dan salah satu bahan ujinya adalah berjalan zig zag. Mirip dengan ujian SIM, pejalan kaki juga harus bergerak berliku-liku, sesekali berjalan di trotoar, tapi saya kira lebih banyak porsinya di jalan raya.
Kedua, trotoar menjadi "jalur alternatif" bagi pengendara motor yang tidak memiliki kesabaran yang cukup dalam menghadapi kemacetan lalu lintas. Pengendara motor semacam ini bagai tikus celurut yang sangat elastis. Celurut mampu menyusupkan tubuhnya di sela-sela lubang kecil antara pintu dan lantai atau lubang-lubang sempit lainnya. Sementara itu, pengendara motor mengintip kanan kiri, lantas menyerobot jalur busway hingga "memanjat" trotoar dan melaju sambil menyuruk di antara pedagang dan pejalan kaki.
Di sini pejalan kaki tak hanya dituntut untuk berbesar hati. Mereka pun harus selalu sigap dan berhati-hati. Sebab jika tak waspada dan menjaga diri, siapa yang bisa menjamin bahwa salah satu sepeda motor yang dalam ketergesaan itu tak datang menghampiri.