Sebenarnya hanya sebuah kejadian "sepele", namun entah kenapa masih membekas di benak saya setelah berlalu beberapa tahun lamanya. Seorang rekan kerja saya melempar bungkus permen ke jalan melalui jendela mobil yang kami tumpangi.
Kami sedang dalam sebuah perjalanan dinas kala itu. Raut muka kolega saya itu biasa-biasa saja. Seakan memang demikian yang harus dilakukannya.
Rupanya bagi rekan saya ini, jalanan adalah tempat sampah. Ya tempat sampah terpanjang di dunia. Dan ternyata bukan hanya jalanan yang dijadikannya tempat membuang sampah. Pada kesempatan lain, halaman kantor beserta pot-pot tanaman juga dijadikannya bak sampah.
Kalau Pak Jaya Suprana tahu, mungkin bisa dimasukkannya ke dalam rekor MURI sebagai bak sampah terbesar di Indonesia. Atau mungkin masuk dalam edisi buku "Kaleidoskopi Kelirumologi", karena keliru mendefinisikan fasilitas umum yang bukan tempat sampah sebagai bak sampah.
Kenyataannya bukan hanya rekan kerja saya yang berlaku demikian. Sering sekali saya menjumpai kulit pisang atau puntung dan bungkus rokok melayang di udara. Ia keluar dari kaca-kaca mobil dan terhempas di aspal jalanan.
Sampah-sampah itu pun terlindas ban-ban kendaraan yang lalu lalang. Bersama dengan debu dan asap kendaraan, mereka mewarnai hiruk pikuk suasana jalanan. Lengkap sudah berbagai jenis polusi mengisi permukaan jalan dan udara di atasnya.
Nasib serupa menimpa pantai dan kawasan pariwisata lainnya. Mereka pun senasib sepenanggungan dengan jalanan dan berbagai fasilitas umum lainnya. Tebaran sampah dalam berbagai wujud selalu menimpa mereka.
Rekan saya seorang yang berpendidikan. Hal itu terbukti dengan statusnya sebagai karyawan di instansi yang mempersyaratkan pendidikan minimal untuk level tertentu.
Saya pun meyakini, para pelempar sampah melalui kaca-kaca mobil itu juga orang terpelajar. Saya tidak menanyai pendidikan mereka. Namun melihat jenis dan kondisi kendaraan yang mereka kendarai, mestinya mereka tidak kesulitan mendapatkan jenjang pendidikan yang memadai.
Saya membandingkan ulah mereka dengan anak-anak saya yang kala itu masih usia balita dan sekolah dasar. Jika di suatu tempat tidak menemukan tempat sampah, anak-anak akan mengantongi bungkus permen atau sisa makanan di saku baju atau celana mereka.
Dengan rasa tanggung jawab, mereka akan menyimpannya hingga sampai mobil atau bahkan sampai rumah kami dan memasukkannya ke dalam tong sampah yang sebenarnya.