Lihat ke Halaman Asli

Ekspedisi Pacitan, 2000

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13100235651268018015

I. Prolog, dalam perjalanan pulang

Malam itu bis menuju Surabaya melaju cepat, sopirnya kelihatan kebelet berak. "Jancuk, matane asu, bisa kepagian ini " batin Bembeng, yang tidak bisa tidur karena si Iwan Lambe ngorok seperti mesin bubut. Dan tidak hanya Bembeng yang stress karena ngoroknya Lambe, Nani Ari dan Faiza  juga senewen dan nyaris kehilangan kontrol. Bermacam upayadilakukan, antara lain mencekik Lambe, menyumpal dengan kaos kaki, memplester lambenya, tidak juga berhasil. " Dibuang saja dik, di alas Caruban, sebentar lagi sampai ! " begitu usu1 penumpang yang lain, yang tentu saja ikut berkepentingan atas ketentraman jiwa mereka. " Gini saja, operkan ke bis lain. Sudah, biar saja karcisnya nanti tak ganti ", kata kondektur sambil mengelus-elus dada (dadanya sendiri). " Ya, dik, daripada nanti tak tabrakno bis iki. Biar mampus semua, loro atiku ! ' Kata sopir rnbesengut. Dipikir nggak stress, seharian narik dapatnya nggak seberapa, eh diberi cobaan seperti ini.

Akhirnya karena musyawarah mufakat yang bulat, semua setuju uptuk menurunkan Lambe di terminal Madiun. Bembeng menggotong Lambe sementara Nani membeberkan koran untuk 'alas tidurnya, dan Faiza menaruh kaleng disisinya siapa tahu ada yang memberi recehan. Begitu selegai mereka akan kembali ke bis, tapi sopir bis tampaknya sudah sangat kebelet, langsung tancap gas. “Hei, tunggu, cuk !", jerit Bembeng memilukan. Aduh, tasku ketinggalan di bis..." tangjs Faiza. Airmatanya menganak sungai. " Asyik, tasku juga ketinggalan !" kata Nani senang. Lho ?. " Ya, sebab isinya cuma kutang dan kampes bekas yang sudah rantas, mau aku larung di Kali Brantas. Wah, siapa yang nemu ya?“ Kata Nanl berharap cemas. "Jangkrik, rokokku, rokokku kari !", jerit Lambe yang langsung terbangun dan berlari-lari keliling terminal. "Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri !" teriaknya gemetar, lambenya ndomble sampai batas maksimal. Sementara Bembeng terduduk lesu di bangku terminal. Pikirannya menerawang, memutar kembali memorinya selama seminggu ini survei di DesaGandamayit, Kecamatan Tulaksawan, Pacitan. Pacitan,kota kecil yang tak pernah terpikirkan bahwa ia akan kesana. Juga tak terpikirkan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang yang kini membuat hatinya gelisah.

II. Pamitan

Sabtu 17 Juni, Bembeng akan pergi ke Pacitan. Seperti biasa, sebelum berangkat ke luar kota, ia selalu mencukur rambutnya, juga bulu-bulu lainnya. Sesudah itu Bembeng tancap gas ke Sidoarjo, mendekati Tanggulangin. Sesudah dicurigai penduduk setempat sebagai maling jemuran, akhirnya Bembeng berhasil menemukan rumah Wijo, kawannya, yang terselip disela-sela tumpukan batu bata dan harapan (?). Di halaman rumah tampak sebuah kasur dijemur, pertanda Wijo habis ngompol. " Jo, aku arep nang Pacitan. " Kata Bembeng. " Lho, sopo sing ngreken ! " Kata Wijo aras-arasen, sambil mengusap ilernya yang berceceran di lantai. Bembeng gak ambil pusing, lalu segera mermbuka kulkas, dan menemukan Coca Cola, Cucak Rowo, sate laler, sate cecek, sate usus, sate bekicot dan sate koplo. Juga ia menemukan tiga buah kancut di freezer. “iki opo, kancut kok di freezer ! " tanya Bembeng. ' Enak, Bembeng, suejuk kalo dipakai !” jawab Wijo yang saat itu nggak pake kancut. lsis. “Koen titip opo ? ', tanya Bembeng. ' Raimu asu, aku titip akik kecubung, biar cepet. laku. Aku wis pingin kawin.”, kata Wijo. " Wah, nek masalah ngono gak cukup akik kecubung. Perlu operasi plastik, jo !” tukas Bembeng. Bembeng segera melarikan diri setelah melihat Wijo masuk dapur dan keluar membawa sebuah pedang pembunuh naga. Setelah berkeliling ke rumah sindikatnya dan ngecer di mana-mana, menjelang maghrib Bembeng baru pulang. Nanti malam ia akan berangkat ke Popok (pengembangbiakan orok pasar oentoek kamuflase), sebuah LSM tempat Hindra, temannya, bercokol dan mengeram. Popok itulah yang memberikan job survei keparat itu. Nanti akan disadari oleh Bembeng betapa banyak pengorbanan yang ia keluarkan untuk survei itu.

III. Menuju Pacitan

Jalan sudah sepi, cuma ada beberapa bencong berbadan kekar yang berkeliaran. Setelah ngobrol sejenak dengan para bencong dan mencatat nomor telepon mereka, Bembeng berjalan menuju kantor Popok. Diisapnya rokok klembak menyannya yang terakhir. Bau kemenyan segera tercium sepanjang jalan Ketintang. Penduduk setempat merinding dan segera membaca shalawat badar, serta membunyikan kentong titir bernuansa magis. Alarm tanda bahaya terdengar disela-sela tangis anak-anak dan wanita.

Kantor Popok tampak gelap. Bembeng mengetuk pintu keras-keras- Pintu dibuka oleh seseorang yang tampakbaru bangun. Ketek-nya rnenggantung di pelupuk matanya, sedangkan iler-nya tampak masih belum kering di sudutbibirnya. Setelah menunggu sampai jam setengah dua malam, akhirnya dua buah mobil berhenti di depan kantor Popok. “Udelmu kobong, kok suwe seru ? “ kata Bembeng yang keluar logat Benjengnya. "Lho gue kira nggak jadi ikut. Lagian ngapain sih nunggu disini ?' tanya Rosalinda, yang mengantar sampai Pacitan,dengan logat Jakartaan yang dibuat-buat. “Matamu suwek, kemarin dibilang nunggu disini ! " umpat Bembeng “Mata lu yang sobek ! gue khan plin-plan. Masa' nggak tahu, idiot !” tukas Rosalinda genit.

Dengan jijik Bembeng segera menuju mobil. “Lho,kok pick-up ? " protes Bembeng. “Udahlah sayang, gini khan lebih asyik. Lebih murah dan lebih isis”, kata Rosalinda sambil-menjilati bibirnya seraya membuka kancing bajunya yang atas. Oh Tuhan, dosa apa sehingga aku bertemu perempuan yang kehausan ini ?, pikir Bembeng. Bembeng segera nyungsep disela-sela perbekalan dan glangsing yang dibawa para surveyor yanglain.

Dan perjalanan panjang dimulai. Pick-up yang ditumpangi Bembeng melaju kencang, maklum drivernyabaru belajar nyetir dan kelihatannya punya masalah keluarga. Berkali-kali pick-up itu keluar jalan menghindari bis dan truk yang berpapasan. Bau maut terasa menyengat. Bembeng berusaha merebahkan diri, sambil melihat langit. Bulan mati, hanya bintang-bintang yang bersinar. Oh Tuhan, akankah ini menjadi perjalanannya yang terakhir ? padahal ia belum kawin, bahkan pacaran saja belum pernah. Perjalanan berhenti di Ponogoro, karena kehabisan bensin. Bembeng tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ngetab. Kemudian bersama Lambe, mencari warung untuk mengganjal perut. Ia hanya mengenal Lambe dan Rosalinda, selebihnya asing. Rosalinda, anak astrologi itu, segera mencari jajanan lain. Dicarinya beberapa tukang becak yang masih tertidur di atas becaknya. Dengan bersemangat diseretnya tukang-tukang becak itu, yang masih terkantuk-kantuk, ke semak-semak di dekat sungai. Selanjutnya tak ada yang pernah tahu apa yang terjadi di semak-semak, pada malam jahanam itu. Sementara yang lain sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Perjalanan kemudian berlanjut. Jalan mulai meliuk-liuk mengitari gunungan. Beberapa anak memuntahkan isi hatinya, eh isi perutnya. Sopir pick-up seakan menikmati penderitaan anak-anak. Dengan kasar diinjaknya pedal gas, sambil tersenyum penuh kemenangan. Disetelnya lagu-lagu sheila on 7 keras-keras. Pick-up semakin laju terseok-seok dan terbanting-banting, seakan menahan amarah dibatinnya. Untunglah, tak ada yang menemui ajalnya pada malam laknat itu.

III. Pacitan,were coming

Memasuki Pacitan, matahari sudah mulai tinggi. Kota Pacitan, seperti kota-kota di filem western, sepi, rumah berjajar di samping jalan utama, dan tentu saja, tak ada hukum yang bisa ditegakkan selain hukum rimba. Pada sebuah warung, mereka mampir sebentar untuk makan. “Ayo, makan dulu, biar nggak lemes. Popok yang bayar !” kata Rosalinda sok ramah. Segera anak-anak memesan apa yang bisa dipesan. Bembeng memesan Dupa dan hio produksi Gumuk Galeng (Simo), sementara Lambe cukup puas dengan memesan penjualnya. “Akeh liyane, lha kok milih bakule. Pripun mas, piye, becik manut wae !”  kata mbok Jem, bakul yang malang itu dengan pasrah. “Kamu nggak makan, Linda ?" tanya Bembeng pada Rosalinda, yang kelihatannya tidak pesan apa-apa. “Ada deh, mau tau aja. Makanan gue beda ! " Kata Rosalinda. Sejenak kemudian, ia menghampiri tukang ojek yang mangkal didepan warung. “Ayo bang...” Katanya manja sambil rnengedip-ngedipkan mata.

" Kemana mbak ? " Tanya tukang ojek itu. Ia sudah siap menstater sepada motornya.

" Ke gardu belakang. Sepi khan ? " Sahut Linda tangkas. Digamitnya tukang ojek itu ke sebuah pos gardu kosong. Selanjutnya tak ada yang pelhah tahu apa yang terjadi di gardu terkutuk itu.

Setelah puas dengan makanannya masing-masing, perjalanan dilanjutkan. Kedua pick-up berpisah akibat sopir pick-up yang ditumpangi Bembeng ndlereng melihat cewek. Setelah kesasar sampai  perbatasan garis khayal khatulistiwa, pick-up naas itu akhirnya sampai di Gandamayit, desa pertama, juga desa yang tertinggi. Pick-up yang lain sudah sampai, sementara anak-anak berkeliaran dimana-mana, bercampur dengan rojokoyo penduduk setempat. Seraya meloncat turun, Bembeng berteriak keras, "Sampe reja-rejane jaman, Desa iki tak jenengi : 'Gandamayit'! ". Tetabuhan lalu berbunyi bersahutan (maklum, seneng ludruk).

Sebenarnya Bembeng menempati Desa Kaliren. Tapi Melihat pendopo rumah lurah Gandamayit yang dijadikan tempat menginap sangat wingit dan angker, Bembeng memutuskan untuk pindah kesana. "Seangker-angkernyarumah ini, masih lebih angker kordes Desa Kaliren, Mica", pikirnya. Dirogohnya saku kirinya, alhamdulillah, klembak menyannya masih ada. Segera disulutnya tanpa membuang waktu. Bau kemenyan segera memenuhi angkasa. Penunggu-penunggu rumah 1urah, seperti gondoruwo, wewegombel, Untung, Mu dan dalbo, terkesiap, tak percaya dengan kenyataan yang ada. “Kemenyan nomor wahid. Produksi Gombong. Ini susah dicari ! " Kata Gondoruwo kepada Dalbo.

Kemudian kedua pick-up mengantarkan surveyor ke tempat peristirahatan yang terakhir, eh tempat tujuan, yaitu ke Desa Kaliren dan Desa Kuplak. Rosalinda berpamitan pada mereka yang ditinggal di Gandamayit. dengan suara serak-serak yang dipikirnya sexy, “Ojo lali mas!”. Heran, kapan ia bisa bahasa Jawa.

Sementara itu Bembeng menyesuaikan diri dengan aura rumah lurah. Ia bersujud mencium bumi, pertanda bahwa ia memasrahkan jiwa raganya diatasnya. Kebiasaan yang biasa dilakukannya bila memasuki tempat yang dirasakan nengandung bahaya. Kemudian ia berkeliling ke pojok-pojok pendopo. Terasa ada hawa dingin yang aneh di sudut kiri. Tentu saja, wong jendela terbuka lebar. Burung Gagak bertengger diatap pendopo, sambil bersuara serak. Rupanya ada yang kendat di desa itu. Kordes Gandamayit, Klatak, datang dan  memberitahukan kabar  itu dengan wajah berserj-seri. Setelah perkenalan singkat dengan kordes Gandamayit, para surveyor saling berkenalan. Bembeng segera mengenal surveyor lain, yaitu Roy, anak Blega, Nani, arek Gurah, dan Paidi, bocah Trenggalek. Semuanya ternyata anak Astrologi. Klatak memberikan penjelasan singkat mengenai Gandamayit, ”Percayalah, tak ada yang bisa keluar dari sini dengan selarnat, kecuali bila tugasnya selesai. Dan percayalah, tak ada tugas yang bisa diselesaikan dengan selamat !” katanya memberi semangat. “Desa ini terdiri dari enam dusun, yaitu Sintren, Duku, Plosok, Mulih, Kraton, dan Ngurut. Semua penduduknya kejam, munafik dan tiran.

Mereka umumnya bertanam ganja dan opium. Setiap pagi mereka menderes opium, untuk dijual atau ditukar sabu-sabu. Mereka juga seneng mendhem, karena air bersih susah didapat. Sejak lahir, penduduk sini lebih mengenal alkohol daripada Tuhannya. Jadi kalian harus menyesuaikan diri.” katanya sambil menenggak Double Kiwi. Bahagia sekali tampaknya. Klatak menemukan habitat yang cocok untuk dirinya. " Ayo, silakan, monggo, gawe akrab-akraban” katanya menawarkan Double Kiwi kebanggaannya itu. Sore itu cuaca kelabu. Hujan turun menambah suasana temaram. Waktu berjalan merayap. Tak ada yang enak dilakukan selain tidur, atau rempon, atau keduanya.

Roy dan Paidi entah tidur entah semaput, tergeletak diantara onggokan kancut dan ransel. Bembeng terus mengisap klembak menyan yang terakhir dikamarnya. Bocor, kasur basah, tak enak buat tidur. Ia bangun, diutak-atiknya komputer dan diinstallnya solltaire. Dimainkannya sebentar, tapi kemudian dimatikannya lagi. Malas. Lalu ia menuju dapur, dan mencoba mengais-ngais sisa makanan. Sesudah hujan reda, asisten kordes, Faiza , datang entah dari mana, bersama Ana, kordes Desa Kuplak. Sementara itu Bembeng masih didapur, belum juga menemukan apa yang dicari. Dilihatnya ke teras pendopo, dan pandangannya terhenti pada Ana. Bembeng tertegun. Alam rayapun semua tersenyum, menunjuk dan memuja hadirnya. Ketika ia menatap wajah Ana, ia merasa mengenalnya. "Ada damai yang kurasakan, bila sinarnya sentuh wajahku. Kepedihanku terhapuskan.

Hanya hatiku mampu menjawabnya. Pencarianku usai sudah, “Bembeng benyanyi pilu. Namun Ana segera berlalu, dan kembali ke sarangnya. Ia sama sekali tidak memperhatikan Bembeng. Setelah itu, Bembeng tidak sempat memikirkan pengalaman batinnya itu, sebab rencana kerja telah disusun, dan malam itu ia ikut kenduren,  dimana semua orang bercerita mengenai orang yang sukses kendat tadi sambil makan-makan dan rokokan, seraya memuji keberhasilannya untuk mati. Ketika kembali ke pendopo, Bembeng ingin bercerita tentang seluk-beluk kendat di Gandamayit, tapi Faiza tak sanggup menerima informasi berharga itu. Takut apabila nanti dicobanya. Malam itu kemudian berakhir. Esok hari kerja akan dimulai. "Semoga masih ada esok hari... " bisik Bembeng perlahan. Melankolik sekali. Nggilani.Selamat tidur Lambe, Klatak, Nani, Faiza, Roy, Bembeng. Selamat tidur juga Ana. Apa yang akan terjadi besok, kalian tak akan tahu. Tidak juga mbah Lurah yang malam itu kancilen akibat terlalu banyak minum es saridele.

/ /selamat malam matahari/

kaualihkan tugasmu yang tak berhenti/

bintang dan angin, selamat malam,/

selamat malam juga pada kalian yang telah bekerja/

pada masa silam//

V. Jam kerja lagi

Hari pertama mereka menuju dusun Sintren, ditemani Sandy, anak tetangga. Dusun keparat itu ternyata tak bisa dilalui kendaraan apapun. Sambil merayap mereka misuh-misuh, dengan dipandu Klatak yang tampaknya siap mati. Setelah melewati lembah, gunungi, jurang, jeram, tebing, Plaza Sintren, akhirnya sampailah mereka pada sebuah jembatan. Jembatan itu tak pantas disebut jembatan, karena hanya terdiri dari jalinan-jalinan serabut halus. Setelah mendekat, mereka bergidik, sebab serabut-serabut itu ternyata adalah rambut manusia, yang diperkuat dengan tulang-belulang. Setiap dua langkah, teronggok tengkorak manusia. Tapi karena sudah niat, mereka bablas saja. Begitu tak adilnya dunia ini, pikir mereka. Begitu usahnya mencari sesuap nasi, sementara ada yanq tinggal duduk tenang makan hasil korupsi.

Tujuan perlama adalah rumah kepala dusun Sintren, Jamino. Sial, bedebah itu tidak ada dirumah. Mereka akhirnya ditemani Besut, anak kasun, yang baru pulang dari Lombok, mengikuti acara Slum Internas (Slum, LSM penjual kemiskinan dan harapan itu. Penghambur uang yang handal). “Wah, asyik dik, nglencer terus. Slum memang yahud (yahudi?). Monggo didahar, oleh-oleh saking Padangbai " Kata Besut menawarkan asbak dan patung Togog.

Beberapa saat kemudian, Pak Jamino datang, dan tampaknya fly setelah rnendulang opium. "Man, Jamino....!" teriak anaknya. " Besut....!" sahut Pak Jamino. Mencium gelagat yang tidak baik, Lambe dan Bembeng segera kulonuwun meneruskan perjalanan ke RT lain. "Permisi, daripada terancam gila, lebih baik kami pergi dulu ke RT sebelah. Pareng !" Kata Lambe. Klatak, Paidi dan Roy juga segera pergi . "Permisi, saya mau skripsi dulu " kata Paidi. Sampeyan celeng ! " seru Roy tanpa tedeng aling-aling, dan langsung plencing keluar disusul Klatak. Hanya Nani dan Iza yang tersisa dari kumpulannya yang terbuang. Mereka pasrah. Begitu tak adilnya dunia ini, pikir mereka.

Sedangkan Sandy dengan setia ndlongop seperti seorang idiot sejati. Selanjutnya tak ada yang pernah tahu apa yang terjadi di rumah laknat itu.

VI. Dalam perjalanan pulang. Part II

“Hei, gendheng, nglamun ae !" suara cempreng Nani membangunkan Bembeng dari lamunan panjangnya. Bembeng terkesiap, dilihatnya jam menunjukkan pukul dua dini hari. Lambe sudah melupakan rokoknya, tidur dan bermimpi menjadi Naseem Hameed. Tangannya mengepal dan bergerak-gerak brutal, sedangkan lambenya tetap ndower. Terlihat ia mengemut sebuah klompen, entah milik siapa. Iza masih mbrebes mili, sambil menaksir kerugian yang diderita akibat kehilangan tas. Terminal sudah sepi. Namun di dekat TV, segerombolan orang menonton pertandingan euro2000. “Ayo, Nan, lihat TV ", ajak Bembeng. Nani Ho-oh saja tanpa perlawanan. Rupanya semifinal sudah berlangsung. Melihat sepakbola, Bembeng merasa perih. Ia teringat Janur, temannya yang suka bal-balan itu. Sial, kenapa ia teringat Janur, padahal sudah seminggu ini ia melupakannya. Rupanya semakin mendekati daerahkelahiran dan kekuasaannya (Ngawi), pengaruh Janur semakin kuat. Apa daya, kekuatan setan kini berkuasa. Bembeng merinding mengingat nanti begitu menginjakkan kaki di Surabaya, ia harus ke FKG. Disana siksaan demi siksaan, lahir batin akan dlterimanya sebagai konsekuensi seorang pasien praktek Janur. Terbayang ia terbelenggu di kursi besi, dan Janur menyeringai dengan dua taringnya, kemudian mengebor giginya, kadang-kadang menempeleng dan meludahi tanpa belas kasihan sedikitpun. Tak ada imbalan, tak ada terima kasih, tak ada satupun yang bisa mencegah neraka dunia itu. Sial, kenapa ia menyerahkan dirinya begitu mudah, kenapa ia terhasut bujukan syaiton.

" Tidak, semua ini harus diakhiri ! “teriak Bembeng mengagetkan semua orang di terminal. Nani segera ngacir, pura-pura tidak kenal. "Sarap !" kata seorang yang berambut putih, sambil minum temulawak. “Sakit ! Schizoprenia ! " kata seorang yang tak berambut, sarnbil makan sego tempong Banyuwangi. Bembeng tak peduli, ia melanjutkan teriakannya, " Tidak, apa yang sudah aku dapatkan di Pacitan, tak akan sia-sia. Tak ada yang sia-sia...sia… sia...sia…sia...!Aku harus bisa menghargai pengorbananku sendiri...sendiri...sendiri...”suaranya bergema. Kini udah ada Ana di hatinya. Ana, bidadari yang akan mengentaskannya dari lernbah kehinaan, ketidakberartian. Yang akan membebaskannya dari cengkeraman Janur, si setan betina.

Ah, seandainya saja Bembeng tahu bahwa Ana tak pernah sedikitpun ingat padanya. Kalaupun ingat  maka Ana akan mengingkarinya.Biarlah, Pacitan telah memberi sedikit arti pada Bembeng. Pacitan, Pacitan lagi. Sebenarnya apa yang telah terjadi disana ?

VII. Kilas balik lagi

Desa Gandamayit, 20 Juni. Jam 10.00 Nani mengemasi tasnya. Berbagai peralatan seperti rantai, roti kalung, pil KB dan alat-alat kontrasepsi berbagai ukuran dimasukkannya kedalam tas. Hari ini survei di dusun Kraton. Selanjutnya, siapa yang tahu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline