"Bulan puasa, pengeluaran bukannya hemat malah makin membengkak," kata salah seorang ibu pembeli sayur keliling.
Hal ini rupanya dirasakan oleh sebagian orang di Bulan Ramadan tahun ini, salah satunya Bu Suwardi yang mengaku pengeluaran semakin membengkak. Suaminya yang hanya seorang pensiunan dan ia yang hanya sebagai ibu rumah tangga mengeluhkan pengeluaran yang tidak terkendali.
Ia mengakui jika mengandalkan uang pensiunan suaminya memang tidaklah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan yang ada. Di tambah lagi, ia masih harus membayar uang kuliah putranya di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Tidak mudah memang untuk mengatur finansial tersebut apalagi di tengah situasi pandemi covid-19 yang menyebabkan perekonomian terganggu.
Bu Suwardi berusaha untuk menghemat pengeluarannya, namun apa daya harga kebutuhan pokok dan sehari-hari semakin hari semakin meningkat. Harga bahan pangan pun banyak yang mengalami kenaikan. Kenaikan harga yang tidak terkendali inilah yang mengharuskannya untuk menghemat pengeluaran untuk makan sehari-hari.
Pemasukan yang minim ditambah pengeluaran yang semakin bertambah menuntutnya harus pandai mengatur keuangan. Bulan Ramadan yang seharusnya pengeluaran bia terkendali justru semakin tidak terkontrol. Belum lagi tagihan listrik dan yang lainnya yang harus dibayarkan setiap bulannya.
Iya, listrik yang digunakan di rumahnya memang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah baik secara gratis atau setengahnya. Karena keluarganya masuk dalam kategori mampu atau R1M. Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah karena sebelum bulan ramadan bahkan sebelum adanya pandemi ini, ia rutin membayar setiap bulannya.
Namun, rasanya ada yang berbeda pengeluarannya untuk membayar listrik justru semakin bertambah. Biasanya ia hanya membayarkan kurang lebih RP 170 ribu setelah adanya kebijakan pemerintah terkait listrik gratis dan dibayarkan 50 persen malah mengakibatkan listrik yang harus ia bayar sekitar Rp 200 ribu.
Ia pun tak lagi mempermasalahkannya dan berharap masih bisa membayar untuk ke depannya. Harga bawang merah dan bawang putih yang terus menerus, hal ini mengakibatkan pengeluaran untuk kebutuhan dapurnya bertambah. Ditambah lagi dengan harga gula pasir yang masih tetap di angka Rp 17.500 atau Rp 18.000 dan kebutuhan lainnya yang memang harganya pelan-pelan merangkak naik.
Apalagi saat ini ada cucunya yang tinggal di rumahnya bersama dengan ibunya yang merupakan putrinya. Kebetulan suaminya bekerja di perantauan sehingga tidak bisa pulang karena penerbangan yang akan dinaikinya membatalkan semua perjalanan ketika sudah diterapkannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Pekerjaan suami putrinya yang hanya seorang petugas proyek pun harus terhenti lantaran pimpinannya menghentikan pekerjaan untuk sementara waktu.
Alhasil, uang dari menantunya pun tidaklah sanggup untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya yang masih kecil. Apalagi anaknya masih membutuhkan susu untuk menunjang pertumbuhan anaknya. Bu Suwardi tak mengeluh, asalkan ia mampu dan ada kecukupan ia akan ikut membantu membelikan susu untuk cucunya.
Yang ia sesalkan, di saat pandemi harga barang mengalami kenaikan tetapi tidak ada lagi pemasukan yang didapatkan. Ia pun mensiasatinya dengan berkebun di rumahnya. Meskipun tidak ada lahan luas, tetapi ia memanfaatkan botol bekas dan media tanam untuk menanam tanaman di depan rumahnya. Tanaman yang ditanam suaminya beragam mulai dari cabai, bayam, kangkung, tomat, terung, kencur, kunir dan jahe.