Lihat ke Halaman Asli

Likke Andriani

Generalis dinamis dengan latar belakang tehnik kimia, senang membaca mencoba mulai menulis untuk keseimbangan. Hobi: backpacking, naik gunung, jalan kaki, snorkeling dan kuliner.

Kerusuhan Ras, Memahami Kekerasan Tiada Akhir di Sejarah Amerika

Diperbarui: 11 Juni 2020   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

colorlines.com

Goerge Floyd, 46 tahun, kulit hitam, Minneapolis, Minnesota, meninggal kehabisan nafas tercekik oleh lutut polisi. Breonna Taylor, 26 tahun, kulit hitam, perawat, kulit hitam, Loiusville, Kentucky, ditembak mati di tempat tidur setelah polisi mendobrak rumahnya di tengah malam.

Ahmaoud Arberry, 25 tahun, kulit hitam, Brunswick, Georgia, dikejar dan ditembak mati selagi jogging, dibunuh oleh dua orang kulit putih yang menduga dia sebagai pencuri, dan karena alasan itu mereka tidak ditindak lanjut.

Mereka contoh korban-korban rasisme yang memicu kericuhan di Amerika, memicu  demontrasi "solidaritas" di berbagai negara selama masa pandemi ini.

Bagaimana hal ini bisa terjadi di negara maju, yang mengeluk-elukan demokrasi seperti Amerika?, Mengapa sampai saat ini relasi antara golongan kulit putih dan kulit hitam disana begitu panas membara dan pahit? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kembali sekilas ke masa lalu Amerika:

Latar Belakang 
Tahun 1863, presiden USA ke-16, Abraham Lincoln menerapkan undang-undang yang mengakhiri sistem perbudakan, 157 tahun yang lalu.

Tahun 1865, perang saudara antara pihak selatan dan utara berakhir, setelah pihak selatan berhasil dikalahkan oleh pihak utara. Dalam sekejap pihak selatan harus menelan pil pahit kekalahan, terpaksa harus membebaskan budak-budak mereka yang umumnya golongan kulit hitam. 

Di tahun yang sama, Abraham Lincoln dibunuh oleh pendukung pihak selatan. Penggantinya presiden yang lemah. Keadaan ini digunakan pihak selatan untuk menarik kembali kekuasaaan yang hilang secara hukum sehingga legal, contohnya dengan membuat UU (Undang-Undang) baru yang mencabut hak pilih golongan kulit hitam atau/dan mengirimkan mereka untuk kerja paksa dengan tuduhan "Mengembara", dan di masa itu kebanyakan orang kulit hitam menganggur dan tidak memiliki tempat tinggal tetap.

Penyalah gunaan UU ini akhirnya memaksa pemerintah menugaskan militer untuk mengontrol keadaan, meyakinkan bahwa hak kaum kulit hitam sebagai kaum minoritas dilindungi. Periode ini berlangsung selama 12 tahun dan dikenal sebagai periode "Reconstruction". Menurut Prof. Brenda terlalu dini untuk distop, "Kesempatan besar yang terlewatkan untuk menjadikan negara ini benar-benar multiras" katanya.

Hukum Jim Crow
Sampai tahun 1965, sebagian besar permasalahan berbasis rasial terjadi di bagian selatan Amerika, dimana semua UU dan peraturan dibuat untuk memisahkan kedua golongan, baik di sekolah, rumah makan,kereta api, penggunaan WC umum, bahkan sampai di TPU. Peraturan ini dinamakan hukum Jim Crow.

Bahkan mahkama agung mensahkan hukum ini dengan persyaratan bahwa semua fasilitas infrastuktur harus kedua golongan harus memiliki kualitas yang sama. Yang diberi wewenang untuk memutuskan hal ini ironisnya.... pemerintah daerah.

Sistem rasial di bagian selatan USA mirip dengan Apartheid di Afrika Selatan: Siapa yang menentang, beresiko mati!, sehingga tidak heran jutaan orang kulit hitam pindah dari bekas wilayah perbudakan ke bagian utara atau barat: Detroit, St. Louis, Chicago, New York, dll.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline