Lihat ke Halaman Asli

Lihyani Safira Nabyla

International Relations Enthusiast

Polemik Indonesia sebagai Paru-paru Dunia

Diperbarui: 29 Oktober 2021   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: https://madaniberkelanjutan.id/2020/07/21/menghentikan-deforestasi-dengan-mencegah-karhutala-melalui-pembenahan-sistem-insentif

Hutan hujan tropis memiliki banyak sekali kekayaan alam di dalamnya seperti mengandung ratusan miliar ton karbon dengan keberagaman flora dan fauna. Hutan hujan tropis disebut sebagai rumah bagi setengah populasi flora dan fauna di dunia sebab hutan hujan tropis memiliki banyak sekali manfaat. Hutan hujan tropis juga dijuluki sebagai apotek terbesar di dunia karena sebagian besar obat modern berasal dari sana.

Indonesia merupakan salah satu negara beruntung yang dikaruniai oleh Tuhan berupa kekayaan hutan hujan tropis. Bahkan, Indonesia memiliki lahan hutan terbesar ketiga di dunia dengan lahan sebesar 94,1 juta ha atau 50,1% dari total seluruh daratan (Kementerian LHK, 2020). Luasnya lahan hutan Indonesia menjadi modal utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sehingga, hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang dijuluki sebagai paru-paru dunia.

Paru-paru merupakan salah satu organ penting yang memiliki peranan besar dalam menyokong keberlangsungan kehidupan. Namun sangat disayangkan, Indonesia sebagai paru-paru dunia yang menyokong kehidupan dunia harus menderita sesak napas. Hal ini dikarenakan terjadinya deforestasi dan kebakaran hutan yang kian lama semakin mengkhawatirkan. Deforestasi dan kebakaran hutan dapat menimbulkan berbagai ancaman bagi human security.

Deforestasi merupakan kondisi luas hutan yang mengalami penurunan akibat konversi lahan untuk infrastruktur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan juga perkebunan (Addinul Yakin, 2017). Perubahan lahan hutan yang menjadi lahan non-hutan menyebabkan pemanasan global akibat dari kebakaran hutan yang sering terjadi. Di Indonesia hampir setiap tahunnya dihadapkan dengan bencana deforestasi dan kebakaran hutan. 

Angka deforestasi di Indonesia yang terus meningkat setiap tahun, dapat dilihat dari tahun 2000 yang mana deforestasi terjadi di wilayah Kalimantan mencapai 33,2 juta hektar. Kemudian turun menjadi 28,3 juta hektar pada tahun 2009, dan kembali turun menjadi 24,8 juta hektar pada tahun 2017. Salah satu faktor dari penurunan luas tutupan hutan adalah masifnya jumlah konsesi yang memanfaatkan kawasan hutan. 

Deforestasi mendorong terjadinya krisis iklim yang bisa berpengaruh besar bagi Kalimantan. Namun tidak hanya di Kalimantan, ternyata dampaknya juga terasa dalam skala internasional. Hal ini dikarenakan Kalimantan yang cukup berdekatan dengan wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam. Dimana, kedua negara tetangga tersebut juga ikut merasakan asap akibat kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan.

Akhir-akhir ini, Indonesia sedang menjadi perhatian dunia karena Indonesia merupakan negara dengan penyumbang utama terhadap perubahan iklim dan kian rentan terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara penyumbang emisi ketiga terbesar di dunia dengan besaran 2.563 MtCO2e setelah negara Amerika dan Cina  (Directorate of Technical Education, 2017). Hal ini bertolak belakang dengan gelar yang disandang oleh Indonesia sebagai paru-paru dunia atau the lungs of the world. Tentu saja, hal tersebut menjadi polemik dengan memperdebatkan apakah Indonesia masih layak untuk mendapatkan gelar tersebut. 

Kemudian, pemerintah Indonesia merespon polemik tersebut dengan melakukan berbagai upaya untuk menurunkan deforestasi. Hal ini dibuktikan dalam KTT Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate pada tanggal 22 April 2021 yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dengan mengungkapkan bahwa Indonesia berhasil menurunkan tingkat kebakaran hutan hingga 82 persen dan menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut yang mencapai 66 juta Ha. Tentu saja hal ini  menjadi berita yang cukup membahagiakan bagi Indonesia. Namun, disamping itu perlu digaris bawahi juga bahwa kita tidak boleh menjadikan istilah deforestasi  kehilangan makna. Sebab, deforestasi yang seharusnya menjadi alarm ancaman lingkungan hidup di Indonesia menjadi terabaikan.

Isu lingkungan tidak hanya dirasakan oleh satu negara saja atau satu generasi saja, melainkan seluruh negara ikut merasakan dampak dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, begitu pula dengan generasi yang mendatang. Sebab, saat ini yang menjadi ancaman bagi suatu negara tidak lagi ancaman berupa fisik atau militer saja. Melainkan, ancaman yang ditimbulkan oleh kemarahan alam akibat ulah manusia yang tidak menjaga serta melestarikan lingkungan.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara paru-paru dunia yang saat ini tengah terbekap oleh asap, dapat membenahi diri dengan melakukan berbagai upaya strategis. Misalnya saja dengan melakukan pembangunan ekonomi yang tetap memperhatikan variabel alam. Sebab selama ini  sepertinya Indonesia selalu memprioritaskan pembangunan ekonomi dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain tidak memperhatikan variabel alam dan lebih memperhatikan variabel ekonomi dan militer. 

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa diperlukannya upaya dari masing-masing individu. Sebab, selama ini kita mengetahui bahwa kerusakan alam juga disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Sehingga, apabila manusia masih tidak melestarikan lingkungan dan terus membakar hutan hingga paru-paru dunia habis, maka dapat diperkirakan bahwa tingkat populasi manusia di dunia akan menurun drastis. Ancaman ini sangat jelas dan nyata, bahkan ancaman kerusakan lingkungan dan perubahan iklim tidak bisa dihindari oleh siapapun. Tetapi, apabila setiap individu mau berubah masih ada waktu untuk memperbaiki ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline