Lihat ke Halaman Asli

Meneropong Realisasi DD di Bondowoso

Diperbarui: 3 Desember 2017   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Undang-undang Desa No 6 Tahun 2014 diterapkan, pemerintah memberikan porsi suntikan dana segar lebih banyak untuk desa. Bahkan dari tahun ke tahun suntikan itu terus bertambah. Dalam konteks ini, kami mencoba mengupas impact adanya Dana Desa (DD) di Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur.

Data dari Dinas Pemas dan Desa (DPMD), gelontoran Dana Desa dari APBN terus-menerus meningkat untuk Kabupaten Bondowoso. Pada 2015 mendapatkan Rp 60 M, 2016 naik dua kali lipat menjadi Rp 132 M, 2017 Rp 173 M dan 2018 nanti kembali meningkat menjadi Rp 193 M (Jawapos Radar Ijen:11 Oktober 2017). Gelontoran Dana Desa tersebut di-breakdown untuk 209 desa di 23 kecamatan. Jika dipukul rata-rata, pada 2016 saja per desa mendapatkan kucuran sekitar Rp 631 juta. Dan tahun depan, setiap desa hampir mendapatkan alokasi Rp 1 M, sebab mendapatkan jatah Rp 193 M (satu kabupaten)

Gelontoran dana untuk desa ini, merupakan salah satu dari Nawa Cita Presiden Jokowi. Yakni tentang Membangun Desa dari Pinggiran. Konsepnya dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Selama tiga tahun ini, semangat desa mengelola DD sangat tinggi. Hal itu terbukti dari beberapa indikator. Diantaranya banyak muncul produk unggulan desa. Seperti di Desa Alas Sumur, Kecamatan Pujer ada wisata Almour. Yakni kawasan rawa yang dikembangkan oleh pemerintahan desa menjadi wisata alam yang menyejukkan. (lihat di instagram maupun di google dengan kata kunci: alas sumur).

Desa Glingseran, Kecamatan Wringin juga menyusul pengembangan wisata. Yakni dengan membuat Taman Rengganis yang dipadukan flying fox dan beberapa permainan lainnya. Masih ada lagi Desa Patirana, Kecamatan Grujugan yang mengembangan wisata Puncak 28 atau P28 Patirana. Di Desa Sumber Canting, Kecamatan Wringin juga ada Puncak Scorpion. Di Desa Kupang, Kecamatan Curahdami ada Puncak Mahadewa dan lain sebagainya. Semuanya adalah objek wisata di desa yang diinisasi pemerintahan desa. Hal itu karena adanya amunisi untuk menggali berbagai wisata tersebut, yakni Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Desa membuat produk, dan hasilnya kembali ke kas desa serta ada multiplier effect untuk masyarakat.

Geliat pendirian BUMDesa tidak hanya dalam sektor pariwisata. Sektor usaha lain juga sangat banyak. Seperti di Desa Karanganyar, Kecamatan Tegalampel, BUMDesa nya mengembangkan produk pepaya yang dibuat makanan khas. Ada juga BUMDesa Bendelan, Kecamatan Pakem yang membuat BUMDesa dengan usaha simpan pinjam yang sangat berpihak kepada masyarakat dan masih banyak lagi.

Dari sisi peningkatan BUMDesa, ada upaya dorongan yang intensif dari Dinas Pemas dan Desa serta Tenaga Ahli Pendamping Desa. Seperti halnya dilakuka Dinas Pemas dan Desa, mereka getol melakukan upgrade. Salah satunya dengan mengajak kepala desa untuk studi banding dan pendampingan. Tahun 2016 ada studi banding ke Bali dan 2017 ada studi banding ke Yogyakarta. Hal inilah yang sepertinya memunculkan banyak ide kepala desa untuk meningkatkan geliat BUMDesa di desanya. Dan memang para kepala desa mendapatkan fasilitas pendampingan saat implementasi pembentukan BUMDesa.

Bahkan, catatan Dinas PMD Bondowoso, dari 209 desa di 23 kecamatan, hanya 7 desa yang belum memiliki BUMDesa. (Jawapos Radar Ijen: 28 Juli 2017). Namun, kini rupanya tujuh desa itu juga sudah membentuk. Dan dari setiap BUMDesa memiliki usaha macam-macam.

Awalnya, Banyak yang Menyangsikan Kemampuan Desa

Dari awal adanya gelontoran Dana Desa (APBN), banyak yang menyangsikan kemampuan kepala desa. Sebab diakui atau tidak, mayoritas kepala desa bergaya otoriter (walau tidak semua). Hal itulah yang selama ini digodok oleh Tenaga Ahli Pendampng desa bersama Pemkab dalam hal ini Dinas PMD dan Asisten I.

Gaya otoriter itu, seringkali muncul dalam perbincangan masyarakat. Salah satunya muncul majaz ironi, kekuasaan kepala dea seperti Extra Joss. Gambaran itu diberikan masyarakat, untuk mengkiaskan model kekuasan kepala desa dengan gambar produk Extra Joss, yakni tangan terkepal menggenggam. Dalam bahasa Madura (Bondowoso), ada sebuat etekem dibbik. Artinya manajemen keuangan kepala desa, dipegang oleh kepala desa dengan semaunya dia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline