Lihat ke Halaman Asli

Organisasi dan Manajemen Zakat

Diperbarui: 4 April 2017   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

  • Latar Belakang

Pemerintah mengeluarkan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dalam rangka mengembangkan pengelolaan zakat agar mempermudah dalam pengelolaan zakat sehingga menunjang kebutuhan sosial untuk konsumtif maupun produktif serta merupakan awal dari terbukanya keterlibatan publik secra aktif melalui Organisasi BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Namun UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dianggap belum mampu menjawab permasalahan pengelolaan tersebut sehingga pemerintah merevisi UU No. 38 tahun 1999 menjadi UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat agar dapat memperbaiki undang-undang sebelumnya karena UU No. 38 tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2011 dijelaskan mengenai dana zakat yang dapat disalurkan melalui BAZNAS yang merupakan organisasi bentukan pemerintah dan LAZ bentukan non-pemerintah. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ (Lembaga Amil Zakat) adalah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keberadaanya untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

  • Pengelolaan zakat oleh lembaga zakat memiliki beberapa urgensi, antara lain.
  • Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.
  • Untuk menjaga perasaan rendah diri dari para mustahik.
  • Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam menggunakan  harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat, sehingga kesejahteraan para mustahik tercapai.
  • Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat menyelenggarakan perintah islam.
  • Untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahik.
  • Untuk memudahakan pelaporan dan pertanggung jawaban kepada publik.
  • Sistem pengelolaannya dilakukan secara profesional.

Peran lembaga zakat baik BAZNAS maupun LAZ menjadi fasilitator yang sangat penting dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat sebagai instrumen yang dapat mempengaruhi pemerintah sosial ekonomi. peran lembaga sebagai  fungsi distribusi dimana lembaga menjalankan fungsi ekonomi yang berkaitan erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah yang bersangkutan dan terdistribusi secara proposional dengan pengertian bahwa daerah yang satu dimungkinkan tidak sama tingkat kesejahteraannya dengan daerah yang lainnya karena akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kemampuan daerah masing-masing.

  • Meskipun dapat dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, lembaga amil zakat harus bersifat sebagai berikut:
  • Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga ini lebih leluasa untuk memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat donatur.
  • Netral. Karena didanai oleh masyarakat, lembaga ini milik masyarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan aktivitasnya, lembaga tidak boleh menguntungkan golongan tertentu. Jika tidak, tindakan itu telah menyakiti hati donatur yang berasal dari golongan lain.
  • Tidak berpolitik praktis. Lembaga tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis. Hal ini perlu dilakukan agar donatur dari partai yang berbeda-beda yakin bahwa dana itu tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis suatu partai.
  • Tidak bersifat deskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal. Dimana pun, kapan pun dan siapa pun dapat menjadi kaya maupun miskin. Karena itu, penyaluran dananya lembaga tidak boleh mendasarkan atas suku atau golongan, tetapi harus memiliki parameter yang jelas.

Ketentuan dalam mendistribusikan dana zakat kepada mustahik Antara lain :

  • Mengutamakan distribusi domestik.
  • Pendistribusian dilakukan secara merata dengan kaidah kaidah:
  • Apabila zakat yang terkumpul banyak, setiap golongan mendapat bagian yang sesuai dengan golongan.
  • Pendistribusian harus diberikan kepada 8 asnaf.
  • Diperbolehkan memberi semua zakat yang sudah terkumpul kepada beberapa golongan penerima zakat, yang apabila didapati bahwa kebutuhan yang ada pada golongan tersebut memerlukan penanganan khusus.
  • Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat.

Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat.

  • Tata Kelola

Dana zakat pada awalnya lebih didominasi oleh pola pendistribusian secara konsumtif, namun demikian pada pelaksanaan yang lebih mutakhir saat ini, zakat mulai dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara produktif. Sebagaimana dicanangkan dalam Buku Pedoman Zakat yang diterbitkan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama (2002:2004) untuk pendayaan dana zakat.

Pola distribusi dikategorikan dalam empat bentuk berikut:

  • Distribusi bersifat ‘konsumtif tradisional’, yaitu zakat dibagikan kepada mustashik untuk dimanfaatkan secara langsung seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat mal yang dibagikan kepada para korban bencana alam.
  • Distribusi bersifat ‘konsumtif kreatif’, yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa.
  • Distribusi bersifat ‘produktif tradisional’, di mana zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif seperti kambing, sapi, alat cukur, dan lain sebagainya. Pemberian dalam bentuk ini akan dapat menciptakan suatu usaha yang membuka lapangan kerja bagi fakir miskin.
  • Distribusi dalam bentuk ‘produktif kreatif’, yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan baik untuk membangun proyek sosial atau menambah modal pedagang kecil.

Pola distribusi lainnya yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah pola menginvestasikan dana zakat. Konsep ini, hal ini belum pernah dibahas secara mendetail oleh ulama-ulama salaf (terdahulu), dengan begitu konsep ini masih membuka pintu ijthad bagi setiap pemikir Islam untuk urun rembuk membahas inovasi pola distribusi ini. Pola distribusi produktif sangat efektif untuk memproyeksikan perubahan seorang mustashik menjadi muzakki, sedangkan pola untuk menginvestasikan dana zakat diharapkan dapat efektif memfusika sistem zakat sebagai suatu bentuk jaminan sosiokultural masyarakat muslim, terutama untuk kelompok miskin/defisit.

  • Manajemen Zakat

Distribusi Konsumsi Dana Zakat

Biro Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dari ketidakmampuan orang/keluarga dalam mengkonsumsi kebutuhan dasar (tingkat konsumsi), konsepnya menjadikan konsumsi beras sebagai indikator utama, sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melihatnya dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis (tingkat kesejahteraan) kemudian United Nation Development Program–Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP-PBB) mengukur berdasarkan ketidakmampuan orang dalam memperluas pilihan-pilihan hidupnya pada tataran transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia (model pembangunan manusia).

Ke semua model pengukuran di atas, jika dikaitkan dengan pengembangan pola distribusi dana zakat secara konsumtif berarti konsep dari pola pendistribusian diarahkan kepada:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline