Sebenarnya aktivitas membaca koran masih sangat menarik di jaman digital seperti sekarang. Yaa memang sedikit berbeda. Kalau jaman dulu, waktu saya masih duduk di sekolah dasar, untuk mendapatkan berita dan informasi yang terkini, harus menunggu si abang tukang koran. Kehadiran mereka paling ditunggu di jam-jam sebelum sarapan.
Jadi sambil ngopi atau ngeteh bisa intip-intip dulu isi koran, minimal baca headline-nya aja. Apalagi kalau ada kasus besar yang diliput terus-menerus, seperti kasus pembunuhan oleh Mami rose, pembunuhan oleh Mbah Jiwo, kasus Marsinah, waah bisa disemprot alm. mama saya karena keasyikan baca koran bukannya berangkat sekolah.
Kalau jaman now, udah nggak perlu nungu si abang tukang koran. Cukup dengan buka hape lalu klik konten media yang diinginkan, misalnya Kompas atau yang lain. Bisa juga waktu buka udah ada deretan berita dan artikel yang muncul dan siap kita santap di pagi hari.
Naah yang bikin saya kurang puas, akhir-akhir ini sumber berita dari media-media itu adalah instagram. Contoh, wow anak si X kembar. Dan setelah saya membaca sampai akhir, ternyata sumbernya adalah instagram si artis yang mengunggah video sedang memeriksakan si istri ke dokter.
Hal seperti ini tidak terjadi satu dua kali tapi banyak kali. Nyaris semua postingan berita online bersumber dari instagram. Sampai-sampai saya pernah baca postingan Bapak Brigjend. Pol. Krishna Murti, SIK.,MSi yang intinya menyatakan kekecewaan karena postingan beliau di instagram dijadikan bahan berita media nasional.
Sebenarnya sih sah-sah saja, mengutip dari postingan seorang tokoh di media sosialnya. Namun, sebagai pembaca, saya khususnya ingin mendapat tambahan informasi yang lebih detail.
Nah informasi yang lebih detail ini harusnya kan diperoleh wartawan melalui wawancara dengan narasumber secara face to face dan detail. Bukan semata berdasarkan postingan mereka di media sosial.
Jika hanya di media sosial informasi yang diperoleh ya singkat saja. Toh banyak pembaca media cetak dan online yang menjadi pengikut para tokoh itu. Hasil akhirnya adalah berita yang cekak dan minim informasi. Bukan lagi berita dengan pendekatan yang aduhai, yang membuat pembaca menjadi terpuaskan. Berita menjadi informasi singkat layaknya running text di televisi.
Saya jadi berpikir apakah kemudahan-kemudahan teknologi menjadikan para jurnalis saat ini menjadi malas dan enggan mengajak narasumbernya bertemu dan berbincang dengan asyik? Apakah kesibukan menjadi hambatan untuk melakukan wawancara dengan intim sehingga hasil wawancara yang diperoleh bisa detail, informatif, penuh dengan bahan yang bisa menjadi tulisan yang ciamik. Entahlah saya tidak tahu.
Yang pasti saya sangat berharap jika media nasional yang saat ini masih berjaya, seperti Kompas salah satunya, tetap memelihara kebiasaan mewawancara narasumber dengan intim sehingga berita yang disajikan menjadi hidangan yang akurat dan terpercaya. Bukan semata kutip postingan tokoh di instagram.
Tabik!!!