Lihat ke Halaman Asli

Siti Lestari

Orang Merdeka

Identitas Perempuan Muslim Tidak Harus Berjilbab

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada dasarnya penulis berpendapat, mengenakan jilbab/hijab tidak wajib hukumnya bagi perempuan. Meskipun penulis bukan seorang ustad, ataupun ahli tafsir, tapi penulis memiliki gagasan subjektif atas nama pribadi perempuan. Baginya perempuan di masyarakat kita khususnnya di wilayah Indonesia tidaklah penting menggunakan jilbab. Klo toh ada yang menggunakan jilbab itu hanya sekedar perkembangan mode yang ada diwilyah tersebut. Mari kita tinjau lagi sejarah umat manusia sebelum nabi muhammad mendapat wahyu Allah dan ditunjuk sebagai nabi ataupun Rosul.

Zaman jahiliyah (zaman kegelapan) dimana kebudayaan yang terjadi dimasyarakat arab merupakan budaya terburuk yang tercacat  dalam sejarah islam. Tidak terkecuali budaya yang bersinggungan dengan kaum perempuan.  Pada saat Al Qur’an surat An Nur ayat 24 turun, secara tegas memerintahkan perempuan untuk menggunakan jilbab demi keselamatan perempuan pada waktu itu. Dalam kondisi masyarakat dengan kebudayaan yang mirip binantang, Islam turun untuk menyelamatkan perempuan dari penindasan yang dilakukan oleh budaya setempat. Pada saat itu perempuan biasa dijadikan barang dagangan, barang warisan, budak yang bisa dipakai oleh majikannya. Ini menyebabkan rusaknya nasab/ keturunan seseorang bahkan masyarakat. Untuk mencegah dan memperbaiki rusaknya ahlaq masyarakat jahiliyah yang sudah berjalan, maka Allah menunjuk Muhammad sebagai nabi dan Rosul untuk menyelamatkan manusia dari kemaksiatan. Sangat masuk akal jika zaman dulu perempuan menjadi objek pembahasan turunnya wahyu Allah, Salah satunya perintah berjilbab. Sadar akan kondisinya, perempuan yang mengimani Allah dan rosulnya, melaksanakan perintah Allah dengan cara menutup semua bgian tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Karena hanya dengan itulah perempuan di arab bisa jauh dari fitnah ataupun pelecehan seksual.

Konon orang arab memiliki libido tinggi karena faktor panas, serta makanan yang berlemak. Perempuan menjadi objek penyaluran hasrat seksual laki-laki karena perempuan memiliki vagina yang bisa dimasuki oleh penis laki-laki. Oleh karena itu bagian tubuh perempuan yang sedikit saja terbuka, akan mengundang syahwat laki-laki. Hal ini wajar jika saat itu Islam yang lahir di Timur tengah mewajibkan perempuan untuk menutup (aurot) seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Kondisi alam di daerah guru pasir dengan iklimya yang panas dan kering membentuk karakter budaya yang khas dimasyarakat tersebut. Seperti budaya dalam menggunakan pakaian tertutup, berwarna hitam, bercadar, ataupun menggunakan sorban merupakan bentukan budaya yang dipengaruhi oleh tuntutan alam. Dari hasil testimoni orang Indonesia yang sudah pernah pergi haji menceritakan bahwa disana iklim panasnya berbeda dengan di Indonesia. Disana tenda yang berbahan dasar kain bisa melindungi panasnya sengatan matahari. Begitu juga sorban ataupun pakaian yang membalut seluruh tubuh, bisa menghindarkan sengatan matahari.

Iklim panas yang kering berbeda dengan iklim panas yang lembab. Itulah perbedaan yang mncolok antara iklim di Indonesia dengan di wilayah timur tengah. Klo di timur tengah, orang menggunakan pakaian tertutup sangatlah wajar untuk melindungi tubuh mereka dari sengatan matahari disiang hari . Orang tidak akan merasa nyaman jika menggunakan pakaian terbuka, karena ini akan membakar kulit mereka. Sedangkan Indonenesia dengan iklim tropisnya yaitu panas yang lembab menyebabkan orang tidak nyaman menggunakan pakaian tertutup ala timur tengah, apalagi sampai menggunakan cadar, ini malah sangat tidak masuk akal.

Trus, bagaimana menentukan batasan aurot nya?

Istilah gampangnya aurot itu merupakan bagian tubuh yang mengundang syahwat. Dan sialnya bagian tubuh perempuan lagi-lagi diclaim  sebagai penyebab naiknya libido laki-laki. Bagian tubuh ini hampir semua, terkecuali muka dan telapak tangan. Wah repot klo kaya’ gini. Coba kita tengok lagi batasan aurot perempuan dengan ukuran kepantasan umum saja. Untuk menentukan pantas dan enggaknya hanya hati nuranilah yang bisa menilai. Lelaki dimanapun akan merasa ser-seran apabila melihat paha mulus perempuan, dada montok, betis sintal serta tubuh yang seksi dengan balutan busana yang minim ataupun transparan. Berbeda apabila perempuan yang memang dikaruniai wajah cantik, tubuh yang ideal, seksi, tetapi tidak memamerkan kecantikan tubuhnya dengan cara menutup aurotnya dengan wajar, meskipun tidak mengenakan jilbab secara berlebihan. Penulis sendiri berpendapat bahwa perempuan yang menginginkan untuk berjilbab tidak menjadi soal apabila yang bersangkutan merasa nyaman. Yang menjadi masalah apabila perempuan tidak merasa nyaman dengan menggunakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya tidak terkecuali menggunakan jilbab.

Dalam kondisi tertentu mungkin perempuan bisa merasa nyaman dengan mengenakan jilbab, seperti perempuan yang berkarier sebagai pegawai kantoran, lingkungan kerja yang nyaman, adem karena AC, tidak banyak beraktifitas yang memforsir tenaga sehingga perempuan yang seperti ini merasa enjoy disaat berktifitas tanpa menggunkan jilbab. Akan berbeda lagi jika ada seorang perempuan yang bekerja sebagai buruh tani, pekerja rumah tangga, taupun pekerjaan serabutan lainnya yang tiap saat bergelut dengan keringat dan panas matahari. Jilbab merupakan jenis pakaian untuk tipe kerja yang seperti penulis sebutkan tersebut. Alasannya jilbab bisa mengganggu dalam beraktifitas. Disamping panas dan gerah, penggunaan jilbab mengganggu dalam bekerja. Ukuran berpakaian sopan tidaklah bijak jika perempuan diharuskan untuk berjilbab, asal berpakaian sepantasnya serta tidak mengundang syahwat, menurut hemat penulis ini cukup aman untuk keselamatan perempuan dalam mengantisipasi pelecehan seksual dari laki-laki. Bukankah sudah cukup sopan jika design pakaian saat ini (masih dalam koridor kepantasan umum) sudah menutup dada dengan baik? Sehingga ayat yang memerintahkan untuk menjulurkan kain sampai menutup dada, ini sudah ada dalam design baju zaman sekarang.

Berkenaan dengan pernyataan dari seorang yang mengaku ustad, ahli tafsir ataupun kyai tentang wajib hukumnya  penggunaan jilbab bagi perempuan, sangatlah tidak memperhatikan sisi lain dari masyarakat kita yang berbeda sekali dengan masyarakat di wilayah timur tengah.

Turunnya ayat dalam Al Qur’an yang berkenaan dengan perintah menggunakan jilbab, seharusnya dalam penafsirannya jangan sampai meninggalkan sebab musabab turunnya Ayat serta penafsiran yang tidak tercerabut visi Islam itu sendiri sebagai teologi pembebasan. Agama yang mampu menjawab semua persoalan yang ada dimuka bumi ini, bukan malah menambah persoalan.

Semoga seklumit tulisan diatas mampu memancing pembaca untuk selalu berfikir kritis atas berbagai macam persoalan yang ada disekitar kita. Sekali lagi Islam diturunkan menjadi solusi bukan menjadi masalah baru di masyarakat. Cuma penafsiran dari ayat-ayat Al Qur’an lah yang terkadang berbeda-beda, sehingga terjadi perselisihan antar umat islam itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline