Lihat ke Halaman Asli

Stop Menormalisasikan LGBT: Maraknya LGBT di Kalangan Remaja

Diperbarui: 13 Oktober 2024   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Di era modern ini, istilah LGBT telah menjadi sangat populer dan telah mendapatkan banyak perhatian publik. "LGBT" berasal dari akronim "Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender" dan digunakan untuk menunjukkan kelompok yang memiliki orientasi seks atau gender tertentu. Saat ini, istilah "LGBT" juga telah berkembang menjadi "LGQIA+" dan "LGBTQ+", yang dapat mencakup berbagai orientasi seks yang ada di masyarakat. 

LGBT awalnya dikategorikan sebagai salah satu gangguan mental. Namun, pada tahun 1975, Asosiasi Psikologi Amerika memutuskan bahwa LGBT menjadi orientasi seksual dan bukan lagi menjadi gangguan mental karena orientasi seksual seseorang dianggap sebagai komponen seksualitas manusia yang normal. Apa yang sudah dilansir oleh Asosiasi Psikologi Amerika, kemungkinan penyebab LGBT difaktorkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor pengalaman traumatis.

 Di antara populasi LGBT terbesar di dunia, Indonesia sekarang berada di peringkat kelima di dunia. 3% orang Indonesia adalah pengikut komunitas LGBT. Dari 250 juta orang, 7,5 juta di antaranya adalah komunitas LGBT. 

Orang-orang yang dikenal sebagai LGBT telah menyadari bahwa mereka lebih cenderung mengalami penyimpangan seksual saat mereka berusia remaja. Ini menunjukkan bahwa minat menyukai sesama jenis dapat meningkat sejak umur lima belas tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa usia anak sekolah adalah usia yang sangat rentan sekali untuk terkenanya LGBT. 

Pada usia remaja, perilaku seksual yang dapat menyimpang disebabkan oleh cara mereka bergaul di lingkungan mereka yang cenderung tanpa batas, yang dapat menyebabkan dorongan seksual yang sedang berkembang saat ini. Tidak adanya edukasi ilmu atau pengetahuan tentang LGBT akan berdampak negatif pada usia remaja karena hasutan dan mendorong mereka untuk mengikuti komunitas LGBT. Karena kurangnya edukasi tentang efek negatif dari LGBT terhadap usia remaja, mereka berisiko terkena penyakit menular seksual dan gangguan mental.   

Selain itu, kurangnya edukasi mengenai LGBT dapat berdampak pada pendidikan remaja. Remaja yang terkena LGBT memiliki harapan rendah terhadap pendidikan, yang mengakibatkan tidak mempunyai motivasi untuk belajar, dan rentan untuk tidak lulus sekolah menengah.

 Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, kemajuan ini juga dapat berkontribusi pada peningkatan perilaku LGBT di kalangan remaja. Penggunaan media sosial, seperti Twitter, Instagram dan lainnya, dapat memungkinkan remaja terjerumus ke dalam komunitas LGBT. LGBT juga dapat menyebar melalui game, tidak hanya melalui sosial media. Dikarenakan bahwa game memiliki koneksi yang sangat luas. 

Sudah banyak terjadinya penggunaan sosial media yang dapat menyebabkan perilaku LGBT. Terdapat grup komunitas LGBT di salah satu platform sosial media, sebagian besar dari anggotanya berusia pelajar. Hal ini membuat persepsi bagi pelajar bahwa LGBT bukanlah hal yang dianggap berbahaya dan berpikir bahwa LGBT suatu hal yang normal. Dan juga masalah sosial media yang sudah banyak tersebarnya konten pornografi, akibatnya dapat mendorong para remaja untuk mencoba dan menirunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline