Sudah berjam-jam rasanya aku menatapi secarik kertas di hadapanku ini. Guruku menghendakiku untuk menulis surat bagi teman terdekatku. Suratku itu tidak akan pernah terkirim. Karena sebenarnya, aku tidak ingin berbicara dengan siapapun. Aku hanya ingin berdiskusi dengan mentari yang senantiasa bersinar, dengan burung gereja yang selalu pergi jika dihampiri atau... dengan "mereka".
Mereka adalah orang yang tinggal hanya beberapa blok dari rumahku, Gita dan Nada, sepasang kakak beradik yang kutemui setiap hari pukul 3 sore di lapangan basket komplek rumahku. Aku juga tidak tahu apa yang bisa membuatku berteman dengan mereka. Padahal, kepribadian kita bertiga sungguh bertolak belakang. Keduanya tidak pernah gagal untuk mendatangkan senyuman di wajahku.
Cahaya senja memuram. Sudah pukul 5 sore tapi mereka tak kunjung datang. Biasanya, saat ini kita terlalu sibuk bermain petak jongkok untuk memberi perhatian pada waktu. Aku masih menunggu kedatangan mereka di lapangan. Sampai akhirnya, ibu menyuruhku untuk pulang karena mendapat kabar bahwa Nada sedang dirawat di rumah sakit. Aku dan ibu langsung bergegas menuju rumah sakit itu.
***
Nada adalah salah satu orang paling ceria yang pernah kutemui di hidupku. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah ia menunjukkan kemurungan di wajahnya. Ia pernah jatuh saat menaiki sepeda bersamaku. Lukanya itu cukup parah, sekujur lututnya dipenuhi oleh luka dan lecet. Meski begitu, ia masih bisa tertawa lepas. Sungguh aneh melihatnya terkulai lemah di rumah sakit, matanya yang besar tidak bersinar seperti dulu, kulitnya juga pucat pasi, lengannya yang rapuh itu dipenuhi oleh jarum infus dan perban. Ia tersenyum saat melihatku meskipun aku bisa melihat bahwa dia sedang kesakitan.
Aku ingat malam itu. Dunia tempat kita duduk bertiga terasa sangat diam. Gita terus menggenggam erat tangan Nada. Gita memang sosok kakak yang sangat baik. Umurnya tidak beda jauh denganku tapi ia sangat dewasa, tutur katanya juga sangat sopan. Ia sudah menjadi seperti figur kakak bagiku.
Tidak ada suara yang mengisi hampa selain suara jam yang berdetik. Sampai akhirnya, suara Gita memecahkan keheningan,
"Sepertinya, Nada harus pindah ke Singapore untuk berobat. Aku kurang tahu itu tempat seperti apa. Tapi itu tempat yang jauh sekali dari sini.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Jujur, aku tidak ingin mereka pergi.
Bibir Nada yang pucat tersenyum lembut, menarik fiturnya menjadi sebuah fasad riang, ia berkata "Tidak apa apa, pasti kita akan bertemu lagi, entah kapan atau dimana."
"Janji?" balasku