Lihat ke Halaman Asli

Hujan

Diperbarui: 1 Februari 2016   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan deras mengguyur kotaku sore ini. Lapar terasa merangsang perut untuk menikmati sesuatu. Kuingat masakan Ibu di kampung halaman. Namun apalah daya diriku ini hanya seorang perantau. Sembari menunggu hujan reda kuseduh kopi sambal duduk di teras rumah kontrakanku.

Tak terasa aku kembali terbayang kisah kecilku. Saat itu aku masih duduk disekolah dasar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 jam pulang sekolah sudah lewat. Aku terpaksa membonceng adikku naik sepeda, karena sudah 2 jam lebih kami menunggu hujan reda. Dengan rasa dingin kami tahan melewati guyuran hujan deras. Namun, sekitar 500 meter dari sekolah kami, angin semakin kencang, dan kami putuskan untuk berteduh di pos ronda. Sambil menggigil, kami menunggu angin dan hujan kembali mengecil. Belum selesai kami berbincang, ayah kami muncul mencari kami. Dengan membawa jaket yang dimasukkan kedalam kantong plastik. Tak lama hujan pun reda, adikku dibonceng oleh ayahku, dan aku mengayuh sepeda sendiri. Kami pun pulang. Dan malamnya ayah kami mengeringkan buku-buku, tas dan sepatu kami hanya bermodalkan lampu minyak. Entah sampai jam berapa baru tidur.

Saat sendiri dirumah kontrakan, aku sering sekali mengingat kembali masa kecilku yang begitu sederhana. Tidak serumit anak-anak sekarang ini. Karena memang aku tinggal di kampung yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota besar. Begitu banyak kenangan, begitu indah terasa. Saat-saat belajar hanya diterangi lampu minyak bekas botol limun. Saat hujan datang dimalam hari, angin dari sawah langsung menerpa rumah gribik kami. Rumah sejuta jendela yang terbuat dari anyaman bambu.

Suara petir menggelegar membuat lamunanku buyar, dan mengembalikan ingatanku didunia nyata. Hujan tak kunjung reda, dan hari kian malam. Entah sudah berapa banyak lamunanku tentang kisah kecilku yang membuatku tersenyum, dan sedih. Sudahlah.

Adzan magrib pun telah berkumandang. Aku bergegas untuk segera menghampiri keran wudhu. Dan segera kutunaikan shalat magrib.

Kini aku sudah dewasa, dan sudah mengalami banyak hal. Dan sudah mampu berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia. Saatnya membahagiakan mereka Ayah dan Ibuku untuk masa tuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline