Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Anak, Aset Peradaban

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepedulian terhadap nasib anak bukan menjadi fokus perhatian bangsa ini. Ditengah-tengah buaian masalah domestik seperti korupsi, kriminalitas seakan-akan permasalahan pemenuhan hak-hak anak menjadi terkesampingkan.

Padahal apabila berbicara mengenai peradaban bangsa, asset yang menerima tongkat estafet itu adalah anak-anak pada masa sekarang. Tidakkah kita pernah mendengar pengakuan internasional bahwa Indonesia kelak akan bertengger bersamaan dengan 3 negara lainnya (Turki, Brazil, dan India) untuk turut serta berkontribusi pada peradaban internasional?

Permasalahannya adalah, aset diatas sudah sejauh mana kita memperhatikan mereka? Langkah sederhana yang bisa kita buat adalah mengajari mereka karakter bangsa ini melalui pendidikan. Selain itu, memberikan perhatian kasih sayang untuk menjamin hak-haknya sehingga kelak mereka akan saling memperhatikan satu sama lain ditengah-tengah gempuran globalisasi yang bisa saja melunturkan karakter bangsa kita kedepannya

Indonesia sebuah bangsa yang cukup besar. Sangat berpengaruh untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan peradaban dunia kelak. Dibuktikan dari akhir-akhir ini ada terselenggaranya sebuah kajian publik yang menampilkan dengan lantang bahwa Indonesia bertengger bersamaan dengan 3 negara lain yakni Turki, Brazil, dan India sebagai negara berkembang yang dipastikanturut memberikan partisipasi dalam menentukan tatanan peradaban masa depan dunia kelak.

Gagasan diatas merupakan sebuah berita sorotan internasional yang sudah mengglobal, dimana media sebagai sarana informasi turut menggencarkannya sehingga menjadikan isu tersebut diterima sebagai opini publik dunia.

Yang menjadi permasalahannya adalah apakah Indonesia siap meladeni pendapat publik internasional tersebut? Terbilang sulit bila negara ini masih sibuk dan terlena dengan lilitan permasalahan domestik. Kita katakan sajalah permasalahan korupsi, kriminal, konflik ragam SARA masih menghiasi pemberitaan nasional yang tiada habis-habisnya menjadi perhatian mulai dari dahulu sejak Indonesia ini dimerdekakan para pendahulu kita. Padahal, sebetulnya ada yang diminta untuk lebih serius diperhatikan yaituanak-anak sebagai asset bangsa ini kedepannya. Sebab kita berbicara tentang bagaimana bangsa ini ditangan mereka 10-20 tahun ke depan.

Mengapa isu anak ini diminta untuk diperhatikan lebih serius? Sangat betul sekali jawabannya apabila ada yang menjawab bahwa anak-anak Indonesia saat ini dan yang akan lahirlah yang akan memerankan peradaban Indonesia nantinya dalam kancah internasional.

Padahal apa yang terjadi saat ini dengan kondisi anak-anak Indonesia? Belum ada kepastian yang jelas bahwasanya negara menjamin kehidupan yang layak bagi anak-anak bangsa ini. Jika kita kaji lebih dalam, permasalahan-permasalahan yang memiliki keterkaitan dengan anak sangat banyak terjadi. Misalnya, ketimpangan pemerataan pendidikan disetiap daerah, perbandingan yang sangat jauh antara kualitas pendidikan anak perkotaan dengan pedesaan. Selain itu, kasus kriminal yang merenggut masa depan anak seperti berbagai tindak pelecehan seksual, kekerasan fisik dan psikis. Yang semuanya itu jelas-jelas dapat merusak mental anak dan membunuh karakter anak. Yang akan berimbas pada hilangnya jaminan masa depan anak.

Isu ini terinsiprasi ketika penulis sedang melangsungkan tugas perkuliahan yakni Praktikum Lapangan di salah satu lembaga yakni Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Begitu banyak pengaduan-pengaduan yang diterima lembaga atas terjadinya perlakuan yang tidak menjamin hak-hak anak untuk mendapatkan aspek pendukung kehidupan pribadinya. Mereka hanyalah sebagai korban. Mereka belum bisa berpikir dengan pertimbangan baik dan buruk. Mereka hanya bisa bergantung pada sekitarnya. Oleh karena itu, sekarang balik pada orang-orang dan lingkungan yang ada di sekitarnya, apakah sudah memberikan yang terbaik atau bahkan jadi menyediakan yang terburuk untuk mereka cecapi. Mereka sama seperti anak burung yang hanya tinggal mengangakan paruhnya ketika si induk menyuluhkan benda ke paruhnya, tidak peduli apakah itu makanan atau bahkan benda yang berbahaya sekalipun. Demikian analogi untuk menggambarkan tumbuh kembang anak.

Luput dari Perhatian

Tidak jarang kita melihat anak-anak gelandangan dan pengemis ditengah-tengah kerumunan, seakan-akan itu sudah sebuah pemandangan yang biasa. Bisa dipastikan mereka kelak bermental peminta-minta dan pastinya anak-anak mereka tidak jauh-jauh juga bermental demikian juga, tidak melenceng itu. Tidak jarang pula kita melihat anak-anak pengangguran dipinggiran bantaran sungai. Mengharapkan derai sungai mengalir membawa sampah-sampah yang mudah-mudahan bisa jadi botot untuk sesuap nasi di esok harinya. Tidak jarang juga kita melihat pemukim-pemukim terpelosok yang masih jauh dari peradaban modern. Anak-anak yang belum mengenal pakaian, hanya berbajukan kulit-kulit pohon didesain sedemikian rupa. Mereka bahkan juga belum mengenal sandal jepit atau seragam sekolah.

Bagaimana lagi dengan mereka korban perceraian orangtua? Bagaimana juga mereka yang yatim piatu? Tidak jarang juga kita temukan anak yang kurang asupan gizi menjadikan perut buncit dengan mata yang menguning. Ahh..masih banyak yang miris terjadi dalam kemerdekaan bangsa kita ini, luput dari perhatian, meski sebentar lagi memoar memori kemerdekaan itu menjalani ke 68 tahun diperingati. Sudah cukup lama kita merdeka. Jika dibandingkan dengan usia seseorang, pada usia 68 tahun telah menunjukkan banyaknya pengalaman dan hikmah yang dipetikdalam rekam jejak kehidupannya. Tapi negara kita seakan-akan masih seperti usia belia yang tidak pandai mengambil hikmah dalam rekam perjalanan peradabannya. Bagaimana dengan buaian manis opini publik internasional tentang Indonesia yang dipersandingkan dengan Turki, Brazil, dan India sebagai negara berpengaruh memberikan kontribusi peradaban dunia apabila sampai saat ini fakta tentang derita anak diatas masih luput dari perhatian? Padahal merekalah asset.

Menjadi Indonesia : Mendingan Jangan Diam untuk Indonesia

“Menjadi Indonesia”, Mendingan Jangan Diam untuk Indonesia. Sebuah gagasan unik, menjadi gerakan moral yang menuntut kita yang membacanya tidak untuk diam melainkan berbuat sesuatu yang menggoreskan hasil positif. Tidak masalah besar kecil pengaruhnya. Sekecil apapun yang kita lakukan itu sangat berpengaruh untuk mengurangi permasalahan yang dihadapkan kepada bangsa kita saat ini. Coba mulai dengan melihat sekitar kita. Permasalahan yang bagaimana yang mengancam hak azasi seorang anak disekitarmu?

Saya bercerita tentang sedikit kontribusiku tentang apa yang menjadi tindakan kecil yang saya lakukan, yaitu mengajar anak-anak Panti Asuhan. Sangat sederhana memang. Tapi mudahan-mudahan tindakan ini bisa mengubah paradigma anak- anak yang berada di Pondok Panti asuhan itu. Beralamatkan di sebuah desa di Simalingkar B tepat di pinggiran kota Medan, nama Panti itu adalah Panti Asuhan Rahpia. Paradigma yang saya bangun bersama-sama dengan kelompok mahasiswa yang tergabung bahwa sesungguhnya mereka diberi paradigma berpikir tidak berjalan dengan kebuntuan harapan. Ada panjang sekali masa depan yang harus mereka tata kedepannya. Mengajak anak- anak ini untuk tidak putus harapan tentang kebahagiaan mereka dimasa yang akan datang. Mencoba menghibur mereka dengan ragam permainan dan mengajar mereka dengan ragam materi pelajaran merupakan sebuah langkah untuk melupakan luka dalam yang pernah mereka rasakan sebelumnya. Yang sebagian besar dari mereka telah kehilangan kasih sayang orangtua karena Tsunami yang merenggut nyawa orangtua mereka pada Gempa Nias pada tahun 2006 yang lalu.

Tugas utama mereka saat ini adalah bukan untuk menelan dan meratapi kelamnya masa lalu. Akan tetapi, tugas utama yang mereka kerjakan adalah belajar yang setekun-tekunnya, dan membangun karakter diri yang disiplin dalam segala hal. Sehingga cita-cita apa yang mereka harapkan setidaknya semakin terbuka lebar peluang untuk mendapatkannya.

Akses Pendidikan, Solusi Tepat Menyambut Peradaban.

Hak azasi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh PBB melalui Lembaga UNICEF menekankan bahwa setiap anak harus mendapatkan akses pendidikan. Sangat betul konsep yang mengemukakan bahwa pendidikan merupakan sarana pengembangan manusia. Pendidikan yang dimaksud bukan semata-mata seperti apa yang didapatkan dari materi pelajaran akademik sekolahan. Tapi lebih dari itu, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan untuk mengasah kemampuan emosional, intelektual, dan sosial anak. Dengan terwujudnya implementasi tiga kemampuan tadi, maka anak-anak Indonesia akan menjadi generasi beradab yang berbudaya, kreatif dan inovatif. Sehingga menjauhkan mereka dari budaya buruk seperti tindakan korupsi, budaya yang saling menjatuhkan (homo homoni lopus).

Proses pendidikan merupakan proses “menjadi”. Dalam kata ini, jika dipisah yaitu imbuhan “me” dan kata dasar “jadi”. Berarti ada kondisi yang diharapkan setelah proses itu berlangsung. Sekarang kondisi yang bagaimana yang kita harapkan dari proses pendidikan itu? Yang kita harapkan tidak jauh-jauh sebagaimana salah satu pendapat salah satu proklamator bangsa kita ini. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Melalui pendidikan-lah itu semua akan terwujud dalam setiap diri insan generasi penerus bangsa ini.

Oleh karena itu, saran saya bagi setiap pemuda bangsa ini, supaya sekiranya selalu memberikan didikan bagi generasi dibawahnya kita katakan saja anak-anak saat ini. Sangat baik jika kita memulai interaksi kepada setiap anak-anak di sekitar kita. Memberikan perhatian bagi mereka, melalui mengajar anak-anak disekitar kompleks pemukiman kita tanpa meminta imbalan mungkin salah satu langkah sederhana tapi bermanfaat. Sehingga anak-anak tersebut akan merasa diperhatikan maka terbentuklah karakter yang kuat bagi mereka yang saling memperhatikan satu sama lain lagi. Karena kelak bangsa ini akan diterpa gempuran budaya asing akibat globalisasi. Karakter itu yang perlu dijaga supaya Indonesia kelak betul-betul memberikan kontribusi untuk peradaban dunia. Bukan sebaliknya kita hanya pelaku komsumtif sebagai alat bangsa lain untuk melanggengkan kekuasaanya ditengah-tengah semarak kapitalisme dan globalisasi ini. Sekian

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline