"Selamat hari ibu"... Itu ucapan yang rutin sebagian kita ucapkan di tanggal 22 Desember atau di hari ibu di negara lainnya. Kata itu terdengar indah bagi kami kaum ibu jika dibarengi kepedulian yang nyata untuk mendukung kesehatan mental kaum ibu, mendukung semua kiprah yang mereka lakukan.
Saya ingin menyorot kaum ibu yang berperan sebagai pejuang keluarga, memainkan peran juga sebagai ayah atau kepala keluarga. Padahal, bahkan di antara ibu pejuang keluarga itu masih berstatus memiliki suami. Terlepas dari jargon emansipasi perenpuan, ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya tak bisa juga diabaikan hak-haknya. Tak jarang saya melihat ibu yang multitasking, berlebihan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Ada juga ibu yang mengalami kekerasan fisik dan psikis dari pasangannya, berpisah dan menanggung trauma psikis bertahun-tahun yang membuatnya disorientasi dalam mendidik dan memyayangi anak-anaknya.
Tertekan dan seperti kehilamgan jati diri meskipun mungkin ia sosok yang cerdas dan punya talenta bagus. Kekerasan dan penelantaran membunuh karakternya. Padahal, kehidupan anak-anaknya sangat bergantung pada kesehatan mental sang ibu.
Perempuan memang kuat secara mental tapi bagaimanapun perempuan juga manusia normal. Ada batas kemampuan yang tak bisa perempuan tembus.
Suatu ketika saya mendengar keputusasaan seorang ibu yang menghidupi anak-anaknya sendirian tanpa dukungan dari sekelilingnya terutama dari ayah sang anak atau keluarga terdekatnya.
"Ingin menjual diri", "Ingin menyakiti diri" sampai "Ingin mati" memang terlihat konyol dan sesat tapi saya lumrah jika kata-kata itu dilontarkan oleh seseorang yang mengalami kebuntuan untuk melanjutkan hidupnya karena bagaimanapun hidup butuh bekal. Getir pastinya jika seorang ibu yang alami proses hamil dan bertaruh nyawa saat melahirkan harus melihat hidup anak-anaknya dalam ketidakpastian.
Pernah dengar kan jargon sebuah iklan "Laper galak, kenyang bego"? Itu memang sebuah ilustrasi sekaligus jokes tapi kata-kata itu punya makna.yang dalam. Orang lapar bisa melalukan apapun karena bisa hilang akal. Pastinya akan banyak pihak menyarankan "bersabarlah dan terus berdoa". Tentu saja sabar dan doa itu sudah diupayakan tapi jika masih ada jalan buntu pastinya yang menjalani bisa hilang akal. Ironisnya yang meminta sabar itu mungkin orang yang bisa menolong secara maksimal tapi tidak melakukannya.
Yang paling ironis juga ketika ada kerabat dekat yang berlebih kemampuan bahkan sekedar menanya kabar atau membantu membukakan jalan saja tidak tapi justru malah mencaci maki kesusahan sang ibu. Tapi, untuk membantu pihak lain mereka mampu. Padahal, zakat atau sedekah itu jjustru diutamakan untuk orang terdekat yang membutuhkan karena jika ini diterapkan maka akan lebih terlihat mana yang benar-benar membutuhkan.
Kasus-kasus ibu "single fighter" ini sebenarnya banyak terjadi. Lihat saja postingan di sosial media ibu-ibu yang terlihat galau dan sedikit curhat. Alih-alih dibantu justru sering mereka cuma jadi bahan tontonan, dicap alay, lebay dan lainnya. Padahal bisa jadi itulah medium mereka mengeluarkan uneg-unegnya. Belum tentu semua yang dilakukan para ibu itu karena kurangnya wawasan. Tapi, rutinitas dan beban berat yang mengerogoti akal itu terus terjadi berhimpitan. Bukan hal gampang menahan sebuah depresi agar tak masuk ke tahap gangguan kejiwaan. Kalau tak bisa berempati, ada baiknya yang melihat memilih diam.
Di sisi lain, memunculkan diri selalu senang atau menutup segala bebannya bukan juga hal yang tepat. Akan lebih susah orang yang lagi kesusahan tapi tak terlihat susahnya. Iya toh?
Meminta bantuan kesana sini juga bukan hal mudah. Ada harga diri yang harus dipertaruhkan. Sering juga bukannya dibantu, ibu yang terpojok dengan kesulitan ini malah dijauhi. Sudahlah terpojok didorong lagi sampai terbenam.