Lihat ke Halaman Asli

Lia Shoran

Bacotholic

Wabah Dunia

Diperbarui: 17 Oktober 2020   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukankah ini lebih mengerikan dari pandemi paling mematikan di dunia? Maksudku, virus ini bisa menyebar dengan sangat cepat tanpa kita sadari. Tentu saja dengan media yang juga tidak kita sadari. Gambaran tentang kengerian kaum nabi luth membayang di kepalaku. Bulu romaku seketika bergidik teringat betapa mencekamnya ketika Allah sang penguasa semesta alam ini, memenuhi janji-Nya. Menimpakan azab yang sangat pedih bagi kaum yang sudah jauh menyimpang. Ah, kita manusia ini kadang terlalu angkuh dan bangga melanggar perintah-Nya. Padahal bukan hal yang sulit bagi-Nya untuk membalikkan bumi tempat kaum sodom dan gomora tinggal. Semuanya lenyap tak bersisa.

"Apakah mungkin sejarah yang lalu akan berulang? Tentang kaum sodom dan gomora, apakah akan terjadi lagi?" pertanyaan yang selalu muncul dalam benakku setelah pertemuanku dengan seorang teman lama. Ada harapan besar bahwa semuanya akan bak-baik saja. Semuanya akan berjalan sesuai jalanya masing-masing kembali.

"Mungkin saja" jawab seorang guru dengan senyum. "Tapi tidak selalu sama, bisa jadi Allah tegur dengan bencana alam, wabah atau musibah yang lain".

Aroma kopi yang menyeruak membuat otakku sedikit tenang. Aku mulai menyukai kopi entah sejak kapan. Tapi percayalah zat-zat dalam kopi adalah obat mujarab untuk menenangkan syaraf-syaraf dalam otakku. Aku memejamkan mata sejenak sambil mengecap sisa tegukan kopi yang baru saja aku telan. Aku biasa menghabiskan waktuku di kafe ini dengan meminum kopi dan membaca. Tapi malam ini tidak satu bukupun tergeletak di meja. Aku hanya ingin berbicara dengan diriku sendiri.

Minggu ini sungguh terasa berat bagiku. Otakku selalu dihantui pengakuan seorang teman lama dalam perjumpaan terakhir kami. Namanya Syaqila ferani. Aku memanggilnya Aqil. Perwakannya sama denganku, namun lebih tinggi. Matanya coklat. Dengan pipi tirus yang tegas. Yah, dia memang terlihat agak maskulin, mungkin karena dia tinggal hanya dengan ibu dan adik perempuanya. Sehingga ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk menjadi pelindung keluarga.

Hubungan kami sangat dekat, dulu. Sebelum akhirnya kami berbeda sekolah. Kami jarang sekali bertemu setalah itu. Bahkan untuk saling berkirim pesan sama sekali tidak pernah. Tapi syukurlah keterlibatan kami dalam salah satu komunitas sosial kembali menyatukan kami dalam persahabatan yang hangat. Kami terbiasa dengan perdebatan-perdebatan kecil tapi tidak pernah bertengkar karenanya.

Aku teringat pada suatu sore, seperti biasa selesai rapat komunitas, kami menghabiskan waktu senja dengan secangkir kopi dan menu cerita yang tidak ada habisnya. Kami saling menceritakan hari-hari kami selama seminggu terakhir dengan antusias. Sampai akhirnya dia mengungkapkannya.

"Key, gue mau jujur tentang aqil undercover, yang tempo hari kita bahas lewat pesan" ucapnya serius.

"Ah oke. Ngomong aja, gue dengerin" jawabku dengan mengunyah sesuap makananku.

"Gue lesbi key" seketika aktifitas mnegunyahku terhenti.

Aqil menyandarkan tubuh pada pegangan kursi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline