Lihat ke Halaman Asli

Aku dan Rasaku

Diperbarui: 3 Mei 2019   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku telah terjebak dalam putaran rasa. Manakala denting waktu terus mendayu, aku berjalan tak tentu arah. Ada gamang yang menari indah di sanubari ini. Ku coba menelusuri lorong-lorong tak bertepi, menyibak rimbunnya lara yang ada. Mencari semua jejak rasa yang tertinggal, namun tak juga kedua netra ini melihatnya.

Aku terjebak di tengah lautan rasa, dalam heningnya rindu dan tajamnya aksara-aksara cintanya. Terbesit sebuah tanya dalam hati, haruskah aku berbalik arah, dan biarkan asaku mengharu biru. Ataukah kubiarkan langkah ini terus menapaki setiap pesisir  hanya untuk menemukan noktah cinta di palung raganya. Walau ku tahu bias-bias fatamorgana tak pernah henti membayangiku.

Duhai sang penebar rindu, tahukah kamu bahwa memendam rasa itu sakit. Membiarkan hati kian bertaruh rindu tak berkesudahan, laksana mengecap candu hantarkan jiwa melayang melintasi cakrawala cinta. Terlena dan terbuai oleh manisnya madu asmara. Kini, rasa yang tadinya tak pernah terurai pun jadi terlerai dalam dekapan sang malam. Bagiku, dirimu seperti pelangi menghiasi langit biru. Bisa kulihat namun tak dapat aku menyentuhmu.

Jauh mana rasanya diri ini mampu untuk bertahan, dan pada akhirnya menunggumu adalah titik uji pada batas kemampuanku dalam bersabar. Di setiap malam menjelang, bahkan ketika sang mentari kembali hadir menyapa. Semua tetap menjadi indah untuk ku jalani, meski terkadang riak-riak yang menyesakkan kalbu menyeruak hiasi derap penantianku. Untuk sebuah hati, dan untuk sebuah nama, jarak yang membentang tak lebih dari sekadar setia menunggu.

Gorontalo, 30 Maret 2019 ( Repost) 
Lian Gaisi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline