Pengembangan suatu wilayah untuk meningkatkan perekonomian dan perniagaan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan demi kemajuan wilayah tersebut. Seperti halnya wilayah lain yang mengembangkan perkonomiannya, DKI Jakarta melakukan Reklamasi di Teluk Jakarta untuk mencapai tujuan tersebut. Selain faktor perekonomian, rencana awal reklamasi ini digadang-gadang bertujuan untuk menyelamatkan Jakarta dari bencana, lebih tepatnya sebagai barrierterhadap banjir rob akibat pasang naik. Tetapi dibalik semua ini, ada pihak-pihak yang kehidupannya sangat terdampak oleh kepentingan yang seringkali dinilai hanya milik beberapa orang saja. Merekalah para nelayan di wilayah Pesisir Jakarta.
Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) ada beberapa yang berlu digaris bawahi terkait dampak yang disebabkan oleh proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dan 17 pulau buatan hasil reklamasi. "Diantaranya terjadinya penurunan kesejahteraan nelayan yang sangat drastis. Kenyataan ini didasari dari kajian Pusat Data dan Informasi KIARA. Hasil tangkapan ikan semula 25 kg namun kini 5 kg" kata Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Rabu (22/3/2017). .
Nelayan di Teluk Jakarta harus menempuh rute pelayaran yang lebih jauh dari sebelum adanya mega proyek tersebut. Dari yang awalnya 1 kilometer menjadi 2 kilometer. Pertambahan jarak pelayaran tersebut tentunya diiringi dengan kebutuhan bahan bahan bakar yang kian meningkat, dari yang semula 5 liter solar menjadi 10 liter (Armand, 2017). Tidak hanya biaya yang tinggi, resiko dalam hal keselamatan melaut pun begitu.
Belum dibuatnya skema asuransi nelayan mengakibatkan para perempuan nelayan, mau tidak mau, harus menanggung semua dampak buruk jika kecelakaan laut terjadi. Hasil tangkapan para nelayan mengalami kemorosotan, tetapi mereka pun harus membayar lebih untuk bahan bakar sekaligus nyawa mereka. Ibaratnya para nelayan ini tercekik dari berbagai sisi.
Hal ini terjadi karena penimbunan reklamasi yang mengganggu kawasan hutan bakau dan terumbu karang di Teluk Jakarta yang telah berjasa meyokong produktivitas tangkapan ikan dengan cara menjadi rumah bagi ikan untuk memijah secara alami. Di saat terumbu karang, hutan bakau, dan laut sudah tercemar dan hancur, di saat itu pula nelayan yang jumlahnya 125 ribu lebih di tepi Teluk Jakarta kehilangan pendapatan.
Sungguh naas nasib nelayan di negeri yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Menteri Susi Pudjiastuti juga pernah mengatakan bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan berdampak terhadap lingkungan dan nasib nelayan di Pesisir Utara Jakarta. Bahkan menurut Susi, ganti rugi yang diberikan kepada nelayan oleh Pemprov DKI tidak akan cukup untuk menanggung semua kerugian tersebut.
Tidak berhenti disitu, mereka juga tercancam tergusur dari tempat yang mereka tinggali secara legal, demi kepentingan reklamasi. Tercatat setidaknya terdapat 17.000 rumah tangga nelayan di DKI Jakarta yang berpotensi terusir dari pemukimannya. Dengan merelokasi nelayan-nelayan tersebut beserta keluarganya, itu artinya mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang mungkin bukan tempat yang cocok untuk mereka. Kehidupan nelayan tidak dapat di jauhkan dari laut. Perelokasian ke rusun misalnya, sama halnya dengan membunuh budaya melaut para nelayan. Padahal di Muara Angke misalnya, para penduduk diminta untuk tinggal disana oleh Gubernur Ali Sadikin dan Presiden Soeharto pada tahun 1977. Tetapi dengan mudahnya mereka diminta lagi untuk pindah dari tempat tersebut.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Nelayan teluk Jakarta membutuhkan laut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, tetapi juga kebutuhan protein ikan untuk masyarakat di Jabodetabek. Ini juga bertentangan dengan rencanna dijadikannya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Karena realita yang terjadi justru para nelayan terusir dari laut, tambang emasnya.
Bukannya mencegah banjir rob, pembangunan 17 pulau buatan ini malah menambah masalah penduduk di Pesisir Jakarta Utara. Muara Angke, merupakan salah satu daerah yang terkena banjir rob selama tiga hari terhitung sejak Senin, 4/12/2017. Banjir ini meruapakan yang terparah karena mencapai lebih dari 30 sentimeter dan mengganggu aktifitas nelayan.
Salah salatu warga yang berprofesi sebagai nelayan bernama Soleh menjelaskan bahwa banjir kali ini disebabkan oleh adanya proyek reklamasi yaitu pembangunan pulau G. Dalam hal ini, entah ada unsur kesengajaan atau tidak, penduduk bisa saja pindah dari wilayahnya karena banjir ini. Menggusur diri tanpa perlu digusur.
Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, pada Kamis (7/12/2017). Keduanya meminta untuk menghentikan reklamasi di kawasan Jakarta Utara. "Kami datang untuk menyampaikan aspirasi dampak reklamasi dan kesengsaraan nelayan. Nelayan sudah disengsarakan selama tiga tahun, belum ada yang tanggung jawab dan dampak reklamasi sangat buruk buat nelayan " kata Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT), Iwan Sarmidi di Balaikota DKI Jakarta.