“Anak jalanan kumbang metropolitan...selalu ramai dalam kesepian....anak jalanan lambang kemunafikan selalu kesepian di keramaian............”
Penggalan lagunya Chrisye – Anak Jalanan yang jadi Theme Song “Ali Topan” ini emang pas klo sekalian dijadiin theme song kehidupan anak-anak jalanan lainnya. Mungkin dibilang klise klo anak-anak itu dikatakan bahagia dengan hidup luntang – lantung. Tawa mereka hanya kamuflase untuk menyembunyikan gundah, takut, kecewa dan sedih. Ketika ditanya kenapa mereka memilih hidup seperti itu, jawabannya sama : “ya habis mau gimana lagi? Kan nyari kerjaan susah, semua harga mahal, mungkin di sinilah (di jalanan.red) ini kami bisa dapet rejeki, mba. yang penting halal, cukup buat makan!”. Jawaban ini universal untuk berbagai profesi yang dijabat oleh mereka.Atas jawaban ini, pantaskah mereka disebut pemalas?
Jawaban mereka memang sama. Jawaban itu keluar dari pemikiran mereka yang menganggap hidup itu serba susah. Mungkin mereka menganut paham “pikiran singkat” dari sebuah falsafah yang berbunyi “jika tidak mendapatkan pekerjaan yang cocok untukmu, maka ciptakanlah pekerjaan itu”. Dan mereka menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka sendiri. Di jalanan! Mengamen, jualan koran, mengemis, atau sekedar membersihkan kaca mobil yang sebenarnya (ga) kotor hanya dengan modal sebuah kemoceng. Sisi positifnya, kita tau betapa kreatifnya mereka. Sisi negatifnya, mereka merusak pemandangan kota.
Alasan negatifyang sering dijadikan alasan pemerintah untuk melakukan penggusuran atau penertiban. Barang-barang di angkut, mereka di bawa ke panti-panti sosial. Efektifkah lokalisasi atau menempatkan mereka ke daerah khusus? Tidak, selama tempat baru mereka hanya menjadi house bukan sebagai home! House hanya sekedar rumah tempat istirahat tanpa ada kesenangan, nihil kebersamaan intim antar anggota di dalamnya dan menjunjung tinggi kepentingan individunya.Home mampu membuat mereka menjadi diri sendiri, merasa bahagia saat bahagia, merasa sedih saat sedih, antara individu yang satu dengan yang lain saling berinteraksi, perbedaan mampu dijadikan sesuatu yang menyatukan dan selalu penuh kehangatan.
Mereka betah di jalan karena jalanan sudah seperti home mereka. Hidup dengan satu kelompok yang bernasib dan memiliki pola pikir yang sama. Hidup dengan orang-orang sepenanggungan yang mampu mengerti mereka sebagaimana mereka mengerti diri sendiri. Hidup beratapkan beton atau sekedar seng atau kardus untuk melindungi mereka dari hujan dan panas, lebih membuat mereka nyaman daripada tinggal di rumah sebenarnya yang dipenuhi makhluk egois, materialistis, dan atheis. Di jalanan mereka lebih sosialis, produktif dan agamis.
Having heavy conversation about the furthest constellations of their soul, we’d know something. They are same with us…they’re just trying to find some meaning in the things that they believe in! and we do….
Mereka yakin apa yang sedang mereka jalani adalah bagian dari hidup. Mereka percaya life is always hard. Mereka percaya “to get your courage up when you fall down, don’t turn around and don’t be afraid..just face up your future bravely….” Hal inilah yang seharusnya kita pelajari dari mereka STRENGTH, FAITH, AND FIGHT, yang membuat mereka terlihat tenang menjalani walau sebenarnya susah. Mereka terlihat bahagia walau sebenarnya memiliki duka. Jangan pandang mereka hanya sebelah mata apalagi pake di picingin kayak tokoh antagonis di sinetron. Mereka juga ingin di hargai ko’. Dan klo mau kita bisa jadi ‘home heart’ bagi mereka. Kita bisa belajar bagaimana menjalani hidup sebenarnya. Menguntungkan bukan? Ga ada ruginya ko’ mencoba untuk respek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H