Lihat ke Halaman Asli

LHKP PP MUHAMMADIYAH

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Politik Uang di Wakanda: Musim Semi Nan Senyap

Diperbarui: 25 Juni 2024   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Mufid Majnun via Unsplash   

Politik Uang di Wakanda: Musim Semi Nan Senyap

Oleh: David Efendi

Ada dua istilah yang musti saya deklarasikan sejak awal. Pertama, politik uang atau money politics adalah makhluk gaib dan bisa jadi maujud. Gaib niatnya, gaib janjinya, nyata barang dan uangnya. Politik uang sebagai bentuk pemberian dalam rangka mempengaruhi, mengubah, mempertahankan polihan politiknya dalam pemilu. Kadang kerap berujung pada praktik saling khianat akibat ketidakpastian mekanisme politik uang. Ada yang menebar jala agar banyak tangkapan dan ada yang menebar lubang agar banyak yang terporosok dalam lubang tambang eh politik uang maksudnya. Dalam politik uang ini sedapat mungkin dihukumi relatifitas Einstein. Semakin tidak pasti semakin “maslahat” bagi semua pihak.

Kedua, Musim semi Sunyi senyap itu sejenis blangkemen, atau sakit gigi atau juga tak kuasa berkata lalu hanya dengan ngelus dada. Inilah kondisi kebangsaan kita dari segala titik nadirnya: keagamaan, pendidikan, ekopol, kebudayaan, dan seterusnya.
Pun dalam beberapa saat ini kondisi Nurani kita sudah senyap untuk bicarakan kecurangan atau pelanggaran aturan main yang kian massif atau dikenal juga TSM. TSM pun direlatifkan dan praktik kecurangan sudah normal. Sangat normal.  Salah satu normalisasi yang meyakinkan adalah fatwa gus Baha: membeli kebenaran. Membeli suara untuk ‘niat baik’.

Politisi harus menjadi kapitalis dan sosialis dalam waktu bersamaan. Bisa juga macak religious. Ada juga yang memang bermain sentimen keagamaan.  Berebut pemilih loyal menjadi ghaib satu sama lain. Ghaib karena hasil akhirnya yang tak simetris. Buktinya, petahana yang tumbang juga bisa kaget dengan dirinya sendiri tak terpilih.

Banyak orang sudah terbiasa, pemilu mahal dan banyak pakai politik uang sudah dihakimi dimaklumkan sebagai budaya. Kata kandidat: pemilih agamis atau bukan, menuntut uang untuk syarat pemilihan. Harus ada ulung-ulung. Harga biting memang tidak seperti bitingnya bungkus kacang. Tanpa ‘mbang gulo’ dianggap tidak akan dipilih. Tapi ada yang PD baliho saja sudah bisa terpilih di dprd dengan sedikit menjual idealism dan percaya diri. Kalau upaya ndak mau lakukan politik uang kira kira masyarakat pemilih akan bilang kok maunya gratisan, ndak punya uang kok nyaleg.

“Mutasi DNA politik uang sejak 2009" kata seorang petahana yang kalah di pemilu 2024. Jadi 2024 pasti paling brutal dan rusak pemilu jika diceritakan sentralnya kekuatan uang. Legislative dan pilkada mana yang ngerih mobilsasi uangnya? Lain ladang lain buayanya.

Para kandidat berduit besar dan siap jadi perlu kaki-kaki di bawah untuk menjadi distributor uang dan barang. Klientelisme dan patranose ini sangat kuat memikat serta menentukan. Tandem itu berwajah janus. Pisau bermata dua bisa iris sana iris sini. Dalam berebut suara bisa perang bansos, ancaman jika punya kuasa parpol, dan serangan politik uang. Ada pengakuan, beberapa kandidat tidak serius pakai uang akhirnya kalah dengan penyesalan.

Kandidat dewan harus bertarung habis-habisan di saat yang sama bos-bos partai senang karena dengan begitu partai akan besar dan juga dapat dipasang tarif untuk pajak atau upeti kepada elite partai atau  kas partainya. Partai harus selamatkan diri dan juga.  

Normal ini juga ditandai dengan semakin profesionalnya bentuk-bentuk yang dulunya dianggap curang dan melanggar. Lapangan kerja dalam konsultan politik juga bukan soal subtansi gagasan kandidatnya tetapi bagaimana teknis pemenangan yang efektif dan efesien. Kasarannya, semua harus dihitung-hitung dengan akuntansi pemilu yang jelas harga dan angkanya. Istilah nomor piro wani piro atau NPWP dilaksanakan semakin canggih di pemilu 2024 yang dulu di 2014 masing serba setengah malu kini itu adalah kerja-kerja.

Musim pemilu kepadatan caleg di RT dari kandidat DPRD. Satu RT bisa diserang 40 caleg dprd kabupaten. Kisaran harga 80-100K untuk membeli suara masing-masing pemilih!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline