Masalah bakteri patogen pada ikan dan produk perikanan telah dibahas pada artikel terdahulu. Namun untuk memperdalam masalah botulisme yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum, maka ditulis artikel ini.
Terlebih dahulu perlu difahami istilah intoksikasi pangan, yaitu penyakit akibat terkonsumsinya toksin (racun) yang terdapat dalam pangan, dimana keberadaan racun tersebut karena diproduksi oleh bakteri. Jika makanan ditelan, maka toksin itulah yang menyebabkan gejala keracunan, bukan oleh karena bakterinya.
Ada dua jenis intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri, yaitu: (1) botulisme, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum; dan (2) intoksikasi stapilokoki, disebabkan toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus.
Botulisme adalah keracunan yang disebabkan oleh racun dari C. botulinum yang terdapat dalam makanan (produk perikanan), apabila produk tersebut termakan oleh manusia. Ini dapat terjadi karena dalam pertumbuhannya, C. botulinum dapat memproduksi suatu racun yang disebut botulin. Karena pembawa racunnya adalah produk pangan, maka dikenal dengan sebutan foodborne botulism (untuk membedakan dengan botulisme lainnya, yaitu botulisme pada luka dan botulisme pada bayi).
Botulisme pada manusia memang jarang terjadi, namun tergolong penyakit yang serius dan gawat, karena cukup tingginya angka kematian yang ditimbulkan. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami agar dapat melakukan upaya pencegahan.
Bakteri C. botulinum pertama kali ditemukan pada tahun 1896 oleh Emile van Ermengem, berbentuk batang, termasuk bakteri gram positf, anaerob obligat (tidak bisa hidup bila terdapat oksigen), motil (dapat bergerak), dan menghasilkan spora yang tahan panas.
Bakteri ini ditemukan di tanah dan sedimen perairan di seluruh dunia, juga berkolonisasi di saluran gastro-intestinal ikan, burung dan mamalia.
Sifat Bakteri dan Toksinnya
Pemeriksaan terhadap 165 kejadian botulisme yang disebabkan oleh produk perikanan (di Kanada, Jepang, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Skandinavia pada periode 1950-1980), menunjukkan bahwa produk dengan cara pengawetan sederhana (fermentasi dan pengasapan) adalah yang paling sering, disusul penggaraman, pengasaman, dan pengalengan. Sebaliknya, ikan segar dan beku tidak pernah terbukti menyebabkan botulisme pada manusia.
Stabilitas toksin botulinum adalah pada suhu yang rendah, berarti dengan cara memasak yang biasa dilakukan di rumah tangga sudah dapat menghancurkan toksin yang terbentuk. Oleh karena itu, cara untuk menghindari keracunan yang paling sederhana adalah dengan memanaskan atau memasak sebelum dikonsumsi. Dengan demikian jelas bahwa resiko dapat terjadi adalah karena makanan tidak dimasak sebelum dikonsumsi.
Botulisme pada produk perikanan yang banyak dipelajari adalah pada produk ikan kaleng. Dengan teknik pengalengan, keberadaan bakteri dapat ditekan dengan melakukan tindakan yang dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri. Namun kewaspadaan diperlukan terhadap sifat bakteri ini, yaitu anaerob, ketahanan terhadap panas, ketahanan terhadap asam, dan kemampuannya membentuk spora.