Lihat ke Halaman Asli

Trisno Utomo

TERVERIFIKASI

Ironi Konsumsi di Bulan Ramadan dan Lebaran

Diperbarui: 26 Juni 2016   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: jatimpro.com

Bulan Ramadan, bulan dimana umat Muslim melaksanakan perintah untuk menjalankan ibadah puasa. Ibadah puasa dalam kategori “umum” (tingkatan yang paling rendah) adalah menahan diri dari melakukan berbagai yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan bersetubuh dalam waktu dari imsak sampai maghrib.

Dengan demikian, ketika seseorang berpuasa, maka baginya periode dan frekuensi untuk konsumsi (baca: makan) akan menjadi lebih kecil. Yang semula peluang untuk konsumsi adalah selama 24 jam berkurang menjadi sekitar 10 jam. Demikian pula frekuesi konsumsinya dari 3 kali (pagi, siang, dan sore), menjadi 2 kali (berbuka dan sahur).

Seharusnya dengan kondisi yang demikian, tingkat konsumsi masyarakat semestinya menurun atau menjadi lebih kecil. Akan tetapi ternyata yang terjadi adalah ironi, sebaliknya. Baru waktu menjelang memasuki bulan Ramadan saja, harga-harga barang kebutuhan pokok sudah mulai naik.

Seperti dikomando, harga berbagai barang kebutuhan pokok merangkak naik, seperti beras, minyak goreng, cabe, bawang merah, bawang putih, gula pasir, gula merah, daging sapi, daging ayam, telor, dan lain-lainnya. Belum lagi barang-barang lain yang terkait dengan puasa dan lebaran. Kondisi ini menunjukkan terjadinya peningkatan permintaan, walaupun mungkin ada juga ada faktor lainnya yang menyebabkan kenaikan harga tersebut.

Pada bulan Ramadan tahun ini, yang menjadi sorotan utama adalah kenaikan harga daging sapi. Sampai-sampai Presiden menginstruksikan agar diupayakan menjaga harga daging sapi di sekitar Rp. 80.000,- per kg. Untuk mengupayakan itu, mengharuskan Indonesia membuka keran impor daging sapi dari luar negeri.

Ini adalah ironi, yang menunjukkan bahwa hakekat berpuasa sebagai pengendalian hawa nafsu tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh umat. Kita berpuasa, tetapi kita tidak bisa mengendalikan nafsu konsumsi dan sifat konsumerisme.

Harusnya ketika kita berpuasa, maka permintaaan akan turun, tingkat konsumsi akan turun, sehingga eksploitasi sumber daya alam turun, kerusakan lingkungan turun, dan fenomena pemanasan global bisa dihambat. Akan tetapi sayang, yang terjadi justru sebaliknya.

Dengan puasa yang seperti itu, dimungkinkan kita tidak akan dapat memetik manfaat puasa, yaitu secara rohani untuk meningkatkan ketakwaan, dan secara jasmani untuk meningkatkan kesehatan. Bagaimana bisa memperoleh kesehatan bila konsumsi kita berlebihan?

Padahal seharusnya dengan berpuasa yang baik dan benar kita dapat memperoleh manfaat bagi kesehatan, seperti : meningkatkan detoksifikasi, menyehatkan sistem pencernaan, mengatasi masalah peradangan, mengurangi kadar gula darah, meningkatkan pembakaran lemak, mengurangi hipertensi, membantu menjaga berat badan, meningkatkan kebiasaan diet yang sehat, meningkatkan kekebalan tubuh, dan membantu mengatasi masalah kecanduan.

Berarti selama ini, kita dalam menjalankan ibadah puasa yang masih dalam kategori “umum” saja belum bisa sempurna. Padahal seharusnya berpuasa tidak hanya sekedar menahan diri dari pembatal puasa saja. Juga harus juga mampu menundukkan penglihatan, menjaga lisan dari ucapan haram yang menyakiti (orang lain), atau ucapan makruh (tidak dicintai oleh Allah), atau sesuatu yang tidak berfaedah, dan menjaga seluruh anggota tubuh lainnya.

Pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang menjauhkan hati dari Allah, serta menahan hati dari berpaling kepada selain Allah secara totalitas. Sehingga semakin tinggi tingkat puasa kita, akan semakin rendah nafsu duniawi kita, nafsu konsumsi dan sifat konsumerisme kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline