Kontaminasi senyawa kimia pada ikan atau produk ikan dapat terjadi secara alami maupun dalam proses pengolahan. Keberadaan kontaminan senyawa kimia tersebut dapat mempengaruhi rasa, kenampakan (tampilan), dan yang paling perlu diperhatikan adalah pengaruhnya terhadap mutu dan keamanannya.
Rasa dari produk perikanan yang tercemar senyawa kimia akan terasa menyimpang, tergantung dari senyawa kimia yang mencemarinya.
Kenampakan beberapa produk perikanan yang tercemar senyawa kimia dapat dilihat dengan mudah, seperti kekerangan yang memiliki kemampuan sebagai filter kimia terhadap logam berat, dagingnya cenderung memiliki kenampakan merah kehitaman.
Sedangkan dari segi keamanan pangan, kasus yang cukup terkenal akibat keracunan logam berat adalah keracunan merkuri yang pernah terjadi di Teluk Minamata Jepang (1953-1960) yang menimbulkan korban hingga 2.265 orang (1.784 di antaranya telah meninggal). Kasus yang terjadi di Indonesia adalah di Teluk Buyat, seperti halnya pada kasus Minamata, menimbulkan korban lebih dari seratus orang menderita cacat dan beberapa meninggal.
Beberapa jenis kontaminan bahan kimia tersebut antara lain : (a) senyawa kimia anorganik: antimon, arsenik, kadmium, timah, merkuri, selenium, sulfida (digunakan dalam pengolahan udang); (b) senyawa kimia organik: polychlorinated biphenyls (PCBs), polychlorinated dibenzo-dioxins (PCDDs), pestisida organoklorin (OCP), polyaromatic hydrocarbons (PAHs); dan (c) senyawa kimia terkait prosesing: nitrosamin dan kontaminan yang terkait dengan budidaya ikan (antibiotik, hormon).
Kontaminasi terhadap ikan hidup
Masalah yang berkaitan dengan kontaminasi bahan kimia di lingkungan hampir semuanya akibat ulah manusia. Bahan-bahan pencemar di lingkungan laut yang berasal dari berbagai aktifitas manusia telah lama diketahui memiliki dampak buruk yang tidak diinginkan, memiliki kemampuan untuk merusak ekosistem di lingkungan lautan.
Laut menampung ratusan juta ton bahan limbah dari prosesing industri, lumpur dari instalasi pengolahan limbah, bahan kimia yang digunakan dalam pertanian, dan limbah yang tidak diolah dari populasi perkotaan yang besar, semuanya mengalir ke perairan dan berkontribusi dalam mencemari lingkungan laut di wilayah pesisir ataupun air tawar.
Dari sini bahan kimia tersebut mengkontaminasi ikan dan organisme air lainnya. Peningkatan jumlah bahan kimia yang dapat ditemukan pada spesies predator sebagai akibat dari biomagnifikasi, yaitu akumulasi bahan pencemar yang bersifat non-biodegradable pada tingkat tropik tertinggi rantai makanan. Atau akibat dari bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi bahan kimia dalam jaringan tubuh yang terakumulasi selama rentang kehidupan individu.
Dalam hal ini, ikan yang lebih besar (tua), akan memiliki kandungan bahan kimia yang lebih tinggi dari pada ikan kecil (muda) dari spesies yang sama. Oleh karena itu kandungan kontaminan kimia dalam ikan sangat tergantung pada lokasi geografis, jenis dan ukuran ikan, pola makan, kelarutan kimia dan ketahanan mereka dalam lingkungan.
Secara geografis, risiko dari residu kimia yang perlu perhatian adalah terhadap hasil penangkapan ikan dan kerang dari perairan pesisir lebih rentan terhadap pencemaran. Beberapa negara telah menetapkan maksimum residu kontaminan senyawa kimia, antara lain DDT 2,0 mg/kg (Denmark), Dieldrin 0,1 mg/kg (Swedia), PCB 2,0 mg/kg (Swedia), Lead 2,0 mg/kg (Denmark), dan Mercury 0,5 mg/kg (MEE).