"Kalau gak lulus neng SMAN Jogja yo golek sekolah neng kene wae Man. Bapak abot nek kudu mbiayai koe sekolah swasta neng Jogja," kata bapak ketika aku ceritakan hasil ke Jogja.
"Njih pak," jawabku memaklumi keputusan bapak.
Aku sadar dengan biaya yang harus ditanggung bapak untuk membayar uang pangkal, SPP, dan biaya insidentil di sekolah swasta di Jogja yang jauh berbeda dengan di sekolah negri. Sedangkan 5 saudaraku yang lain juga butuh biaya.
Saya anak ke-2 dari 6 bersaudara. Walaupun bapak karyawan Bank BUMN, tapi karena masuk dari jalur olahraga dengan bermodalkan ijazah SR tentu bukanlah pegawai dengan gaji yang tinggi. Memang bapak juga punya sambilan membeli mobil kemudian diperbaiki dan dijual dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu juga jual beli tanah untuk menambah pemasukan.
Dua minggu setelah batas akhir pendaftaran, merupakan hari yang sangat mendebarkan menunggu berita dari Mas Erfi tentang hasil seleksi masuk SMAN. Tiba-tiba Ita, temanku saat SD yang punya telpon rumah memberi tahu bahwa baru ada kabar dari Mas erfi bahwa aku diterima dan mulai besok harus memenuhi beberapa berkas dan kewajiban daftar ulang. Namun Ita tidak member tahu SMAN mana yang menerimaku.
"Aku diterima di SMAN mana Ta? Tanyaku penasaran.
"Tadi Mas Erfi gak memberi tahu SMAN mana, cuman aku catat beberapa syarat dan waktu terakhir harus daftar ulang," jawabnya.
"Ya udah terimakasih ya Ta."
Akupun membaca kertas yang diberikan Ita dan segera mengumpulan apa-apa yang harus aku bawa besok ke Jogja. "Kamu mau naik kereta apa bus Man," tanya Ibu.
"Naik bus aja mak," jawabku singkat.
Besoknya aku pamit Bapak, Ibu dan kakak dan adiku. Aku tidak diantar sampe ke terminal Purwokerto karena aku dah tahu dan berani sendirian.