Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Darurat Pendidikan dalam Gelombang Pandemi

Diperbarui: 2 September 2020   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua murid SD belajar di ruang terbuka di pinggir jalan yang ada signal kuat di pelosok Banten. Foto : ANTARA diunggah dari BBC.com

Sistem Pendidikan Kita Belajar dan Bertahan dari Pandemi

 Pandemi yang masih terus berlangung membuat seluruh kegiatan manusia, termasuk kegiatan pendidikan terganggu. Meskipun beberapa wilayah sudah ada pada zoba hijau dan kuning dan mulai mengadakan proses belajar off line, risiko anak-anak untuk tertular COVID-19 tinggi.

Memang, pandemi covid-19 membuat kita mengakui bahwa belajar via daring itu memungkinkan. Pemerintah, melalui Kementrian Pendidikan Nasional pun kemudian meluncurkan subsidi pulsa kepada murid sekolah dan mahasiswa.

Tidak tanggung-tanggung, tiap siswa mendapat subsidi 35 GB dan mahasiswa menerima subsidi 50 GB antara September sampai Desember 2020. Ini akan menelan biaya sekitar Rp 8,9 Triliun. 

Tentu subsidi ini membantu banyak siswa. Akses pada internet yang punya variable harga paket, akses pada sinyal dan akses pada perangkat kerasnya, dalam hal ini HP, adalah sebagian dari tantangan siswa.

Selain dari anggaran pemerintah, kontribusi perusahaan jasa layananan seperti Telkomsel juga meringankan beban keluarga. Persoalan belajar jarak jauh ini memuat persoalan akses yang di dalamnya memuat banyak variabel pendapatan masyarakat, dan sarana serta prasarana pendidikan.

Persoalan akses pendidikan di masa pandemi itupun sangatlah kompleks. Suatu riset untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah” melakukan survai 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur. Ini dilakukan di awal bulan Mei 2020.

Hasil survei menunjukkan bahwa 28% responden menyatakan belajar dengan menggunakan daring. Artinya masih ada ketimpangan akses media belajar, khususnya antara mereka yang mampu dan kurang mampu.

Juga, dilaporkan bahwa para ibu lebih banyak menyediakan waktu membantu proses belajar anak, kurang lebih selama 2 sampai 3 jam per hari, dibandingkan dengan para ayah, kurang dari 1 jam per hari (the conversation).

95% responden menyatakan bahwa sekolah anak mereka sudah menerapkan kebijakan tersebut. Bahkan, 76% responden mengatakan bahwa Dinas Kabupaten dan Kota telah mengadakan proses belajar daring sebelum surat keputusan menteri dibuat.

Yang menarik, meskipun media daring digunakan, 66% responden mengatakan bahwa proses belajar offline dengan pelibatan orang tua dan buku ajar lebih dominan tinimbang proses belajar daring. Adalah menyedihkan bahwa 6% responden melaporkan bahwa tidak ada proses belajar sama sekali selama diminta belajar dari rumah. 9

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline