Per'buzzer'an Sebagai Sektor yang Trennya Masih Meningkat
Revisi UU KPK mampu membuat dinamika berbeda di masyarakat sipil Indonesia.
Saya, warga sipil pengguna media sosial yang libur 8 bulan dari Facebook pun kembali menelusuri platform ini.
Dan, saya terpana.
Riuh rendah itu begitu beragamnya. Gamang kita mencatat sisi kualitas maupun kuantitas dari postingan yang ada.
Apalagi bila postingan dihubungkan dengan latar belakang pendidikan pemilik akun. Kadang kadang membuat kening berkerut.
Soal Denny Siregar, sudahlah, tidak usah kita bahas lagi. Saya telah menulis tentangnya beberapa minggu yang lalu. Analisanya soal Taliban di dalam KPK sempat 'ditelan' mentah mentah dan hidup hidup di kalangan publik.
Lalu, pada akhirnya publikpun menilai bahwa buzzer jenis ini adalah masuk golongan istimewa. Apalagi bila kemudian dianggap punya akses data lebih dini dari info POLRI dan juga kebal hukum ketika infonya ternyata dinyatakan tidak valid.
Yang menarik, bermunculan banyak unggahan dari kawan, baik mantan aktivis 98 maupun yang masih aktif menjadi aktivis, yang lulusan SMA maupun lulusan S3, yang tulisan dan komentarnya merupa buzzer atau influencer.
Saya bukan hendak mengecilkan kualitas buzzer. Namun ada ciri ciri buzzer yang bisa diamati. Mereka sering nampak terperangkap pada kegairahan politik praktis, gunakan bahasa bombastis dan provokatif, dan juga kadang tak menyertakan analisis dan data yang memadai.
"Twisting" ide dan perspektif kadang ditemukan. Padahal mungkin terdapat aspek yang sebetulnya telah jelas posisinya.