Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Mengapa Semua Harus "Di-handle" Wiranto?

Diperbarui: 11 Oktober 2019   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menko Polhukam Wiranto (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pd. )

Gempa Ambon 
Tampaknya Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sedang jadi lakon di Indonesia. Selain sibuk merespons isu konflik Papua, demo mahasiswa yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP serta beberapa revisi undang undang yang bermasalah, Wiranto juga merespons soal gempa Ambon.

Dalam menyikapi pasca gempa Ambon dengan magnitude 6,5 yang terjadi pada 26 september 2019, Wiranto meminta pengungsi kembali ke rumah agar tak menjadi beban pemerintah.

Menurut Wiranto, yang ditulis oleh Suara.com, hingga saat berita ditulis pada 2 Oktober 2019, masih banyak masyarakat yang memilih bertahan di pengungsian meski gempa sudah tidak terjadi lagi. Banyaknya pengungsi ini disebut Wiranto akibat dampak dari penyebaran informasi yang menakut-nakuti warga akan gempa susulan dan ancaman tsunami.

"Pengungsi ini ditakuti adanya informasi adanya gempa susulan yang lebih besar, ditakuti adanya tsunami akibat gempa, padahal tidak ada badan resmi manapun yang mengumumkan itu," kata Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Senin (30/9/2019).

Sumber Foto SatuMaluku.com

Atas pernyataan Wiranto, muncul berbagai tanggapan, baik dari Walikota Ambon, anggota DPRD maupun dari kalangan masyarakat. Salah satu anggota DPRD Maluku Rovik Akbar Affifudin, misalnya, mengatakan bahwa pernyataan Wiranto terkait pengungsi di Maluku sangat melukai perasaan masyarakat, khususnya yang terdampak langsung dari bencana tersebut (Kompas.com, 4 Oktober 2019). Bahkan, muncul komentar bahwa Ambon dan Maluku perlu dikeluarkan saja dari NKRI mengingat pernyataan Wiranto tersebut. 

Mengapa Pengungsi Tidak Berani Pulang ke Rumah?
Sampai dengan Selasa, 1 Oktober 2019, kantor BPMG Kota Ambon mencatat 821 gempa susulan, dan 90 di antaranya dirasakan getarannya (Kompas.com, 1 Oktober 2019).

Kompas.com menyampaikan bahwa banyaknya gempa susulan yang terus terjadi setiap hari sesudah gempa besar membuat warga panik dan berhamburan dari rumah mereka. Bahkan, sebagian dari mereka muntah muntah karena mual seperti mabuk laut.

Ini mengingatkan saya pada saat saya mendukung kawan kawan Gema Alam NTB untuk membantu penyintas gempa Lombok di Lombok Timur. Saat itu, Lombok Timur adalah wilayah pertama yang terkena gempa pada 29 Juli 2018.

Kemudian terjadi gempa susulan yang besar 6 skala richter di wilayah Lombok Utara dan Lombok Tengah. Juga, terjadi bencana gempa dan tsunami  juga Palu, tak lama sesudah gempa Lombok. Saat itu, Lombok Timur ditinggalkan oleh relawan. Gema Alam NTB lah yang masih ada di Lombok Timur terus membantu warga karena memang dalam prakteknya, jumlah pengungsi yang ada di Lombok Timur adalah sama banyaknya dengan jumlah pengungsi di Lombok Utara dan Lombok Tengah. Sementara itu, baik Bupati dan Gubernur yang baru saja dipilih lewat pilkada belum bekerja efektif untuk memberikan komando dan bantuan kepada warga dengan efektif.

Repotnya, karena alasan politis, pemerintah nasional memutuskan bahwa gempa Lombok bukan bencana nasional.

Saat itu bisa dikatakan, negara tidak hadir di Lombok Timur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline