" Kegagalan sebagian besar negara untuk mengendalikan korupsi telah terbukti berkontribusi pada krisis demokrasi di seluruh dunia" (Patricia Moreira, Direktur Pelaksana TI)
Studi Kasus Demokrasi Jelang Sidang Paripurna DPRRI 2019
Jelang Paripurna DPRRI 2019 pada bulan Oktober nanti, DPRRI dan Pemerintah 'ngebut' melakukan beberapa perubahan terkait perundangan.
Sayangnya, apapun alasannya, perubahan perundangan yang diusulkan dan diterapkan ternyata merongrong demokrasi.
Proses revisi undang undang no 30, 2002 tentang KPK yang hanya dilakukan selama 12 hari setelah rencana revisi ditetapkan, telah diketok palu kemarin 17 September 2019. Perubahan ini merupakan kejutan bagi hampir semua pihak. Kitapun dipertontonkan suatu teka teki, apakah Presiden terkejut dengan rencana DPRRI, karena Presiden nampak tidak konsisten dan berubah ubah dalam mengomentari rencana revisi UU KPK. Revisi ini sebetulnya hanya menambahkan isu keputusan pansel capim KPK yang memilih mereka yang di dalamnya terdapat calon yang memiliki rekam jejak tidak etis. Dan ternyata, calon itu pulalah yang dimenangkan menjadi Ketua KPK.
Gelombang protes dan deklarasi dari berbagai pihak, baik guru besar, dosen dan civitas akademica lebih dari 30 universitas di Indonesia terjadi.
Surat KPK yang dilayangkan kepada Presiden untuk meminta waktu bertemu dan berkonsultasi dengan Presiden tidak ditanggapi. Tanggapan berupa komentar barulah ada ketika tiga dari lima pimpinan KPK, termasuk Ketua KPK mengundurkan diri.
Banyak pihak memberikan tanggapan dan mencoba menengahi ketegangan yang ada. Namun toh revisi UU KPK telah diketok palu, setelah melalui proses penggodokan dalam ruang hotel.
Bisa dikatakan bahwa revisi ini tidak demokratis. Tidak melibatkan konsultasi publik. Publik kecewa dan protes terus mengalir hingga kini.
Walaupun Presiden berjanji bahwa revisi akan memperkuat KPK, perubahan yang terjadi bahkan menggerogoti KPK. Ini makin menjadi nyata, ketika semua pihak, termasuk KPK dan masyarakat baru mengetahui pasal pasal perubahannya, setelah semua terjadi.
Ini preseden super buruk dalam sejarah demokrasi kita. Perubahan UU KPK itu, antara lain :
- Korupsi bukan lagi menjadi kejahatan luar biasa. Ia kembali menjadi kejahatan biasa, dengan tanpa melalui prosedur khusus, yang ada dalam pemeriksaan tersangka yang sebelumnya. Perubahan ini tidak lagi merujuk pada UU KPK, tetapi kembali mengikuti prosedur hukum acara pidana;
- Kewenangan Pimpinan KPK yang sebelumnya memuat sebagai penyidik dan penuntutu umum dihapus;
- Kewenangan untuk menggeledah, menyita dan menyadap harus meminta persetujuan tertulis Dewan Pengawas;
- Kewenangan merekrut penyidik independen dicabut;
- Pegawai KPK tunduk pada UU ASN (tertera pada pasal 24) yang berpotensi mengganggu kemandirian pegawai KPK;
- Dewan Pengawas KPK mengawasi dan mengevaluasi kerja staf, pejabat dan komisioner dan pimpinan KPK dan turut serta dalam persoalan keseharian pelaksaan teknis penanganan perkara (pasal 37);
- KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan dengan batas 2 tahun (Pasal 40). Ini membatasi gerak KPK untuk mengembangkan penyelidikan. Artinya, perkara besar sulit dicakup;
- Revisi UU KPK langsung berlaku setelah diundangkan (pasal 70 c). Saat ini KPK mrnangani kasus E-KTP yang telah memakan waktu 3 tahun. Artinya ada potensi tersangka E-KTP di SP3 kan. Juga, kasus kasus seperti BLBI akan berpotensi menguap.