Pada hari pertama saya menginisiasi petisi untuk Presiden dan DPR membatalkan Ketua Baru KPK yang bermasalah dan menunda revisi UU KPK, saya pada Sabtu 14 September 2019 tidak tindak lanjuti dengan penyebaran.
Saya cukup kecil hati melihat apa yang diberitakan media. Menyedihkan. Demo para pemuda yang nampak beringas untuk mendukung revisi UU KPK. Juga pemutaran situasi rapat Komisi III pada saat 'fit and proper test' dan pemilihan musyawarah kilat melalui rehat kurang dati 5 menit dan memilih Irjen Firli sebagai Ketua KPK 2019 - 2024. Suasana dalam ruang sidang yang ketawa ketiwi itu membuat saya 'eneg'. Tak ada gambaran urgensi karena situasi genting. Tak ada keseriusan. Satu satunya kesetiysan adalah konprensi persvyamg dijawab Suryani, salah satu anggota fraksi. Itupun hanya jelaskan bahwa komposisi pimpinan sudah bagus. Ada keterwakilan perempuan. Ini diulang dua kali.
Saya ingat tabungan saya di akhir tahun 2018 yang saya terpaksa bayarkan semuanya, ludes untuk pembayaran pajak. Saya ikhlas. Namun, melihat wajah wajah degan bahasa tubuh yang penuh kuasa, dan menunjukkan keserakahan dari liputan televisi pada pemungutan suara di Komisi 3 pada 13 September 2019, saya lanjutkan petisi yang saya mulai. Saya tak ingin setiap sen jerih payah saya akan dibuat bancakan koruptor.
Ditambah, saya membaca puisi dari para guru besar UGM. No way, saya harus lanjutkan.
Kemarin siang, saya melihat begitu banyak kawan masih bergerak. Saya lanjutkan upaya mencari dukungan tanda tangan. Awalnya lambat karena saya petlu jelaskan imi itu.
Beberapa rekan sampai dengan siang tadi kuatir bahwa petisi akan ganggu NKRI. Ternganga mulut saya. NKRI? Ini rupanya yang menghantui.
Juga radikalusme Taliban ditiupkan seakan ganggu KPK. NKRI dan radikalisme.
Saya sabar saja membagi link tulisan saya di K. Ada beberapa analisis tentang mengapa saya berpendapat bahwavtulisan Denny Siregar adalah "dagangan".
Rupanya ada 11 artikel saya tentang KPK. Biarlah kawan kawan membaca. Banyak kawan tidak pernah tahu bahwa saya sedikit menulis iseng di Kompasiana.
Saya pantau, walau mata saya yang menggunakan 'soft lense" sedang iritasi berat. Tapi rupanya saya harus berhenti setelah 6 jam. Mata saya tidak bisa diajak kompromi.
Dalam 6 jam, kemarin kita dapatkan lebih dari 300 tanda tangan. Saya haru dan jadi semangat.