Tantangan Milenial di Tempat Kerja
Dunia kerja ada di depan mata generasi milenial. Isu yang muncul tentu beragam. Lebih heboh daripada isu ketenagakerjaan para 'baby boomer' yang saat ini bersiap lengser. Saya yakin 'fresh graduate' juga menilik berbagai informasi untuk mempersiapkan karirnya, di luar masalah gaji semata.
Pada praktiknya, Milenial menghadapi tantangan riil di lapangan kerja dan juga tantangan tidak riil tetapi perlu dipertimbangkan, yaitu terkait bias ataupun stereotipi yang diterapkan oleh lingkungannya bahwa mereka adalah generasi yang 'kaget' karena tidak punya keterampilan kerja.
Belum terdapat studi di Indonesia terkait kesiapan Milenial di lapangan kerja. Namun, Studi Mindflash yang melibatkan 1.200 responden di Amerika yang berumur antara 18 sampai 33 tahun dan diadakan pada 31 Maret sampai 2 April 2015 mungkin berikan gambaran kecenderungan yang ada.
Dalam hal demografi responden, dicatat bahwa satu dari tiga di antara responden itu memiliki pengalaman kerja selama tujuh tahun.
Hasil survei menunjukkan bahwa, secara umum milenial merasa kecewa pada perusahaan yang tidak menyediakan pelatihan dalam masa kerja 'on the job training'. Walaupun biaya cukup mahal, milenial mengatakan bahwa mereka bersedia membayar sendiri pelatihan yang mereka ikuti. Artinya:
- milenial dan 'fresh graduates' harus berusaha dan mengeluarkan investasi sendiri dalam mengembangkan ilmu dan keterampilannya. Ini untuk menjawab tantangan bagi milenial untuk generasinya untuk proaktif, inovatif, dan suatu saat memulai bisnisnya sendiri;
- sekitar 57% dari responden adalah milenial golongan manager yang merasakan kebutuhan pelatihan yang paling tinggi. 21% dari mereka membutuhkan pelatihan komunikasi antar personal dan 20% tentang pemecahan masalah;
- uniknya, millennial sering mementingkan pada kebutuhan pelatihan kebugaran daripada pelatihan keterampilan untuk pekerjaannya.
Pelatihan di Tempat Kerja dan Program "Management Trainee"
Pelatihan di tempat kerja adalah aspek yang sangat penting bagi karir seseorang. Kali ini, saya tergelitik melihat kembali program pelatihan kerja atau Program 'Management Trainee ' (MT) yang di masa 'baby boomer' pun sudah ada, meski terbatas pada sektor perbankan.
Bagaimana program semacam ini berkembang? Apakah pengguna dan lulusan merasakan manfaatnya?
Di tahun 2019 ini saya menemukan cukup banyak Program 'Management Trainee (MT) yang diiklankan. Ratusan posisi ditawarkan dalam iklan pencari pekerjaan.
Terdapat sederetan perusahaan global atau multinasional, seperti Coca Cola, L'oreal, Shell, Novartis, Nestle, dan Unilever yang menyelenggarakan MT. Juga, perusahaan perbankan besar seperti Bank Mandiri, Bank OCBC dan Bank Danamon serta perusahaan BUMN seperti Garuda Indonesia juga menyelenggarakan program MT.
Sementara itu, perusahaan tingkat nasional seperti PT Mandiri Cipta Integrasi, Ismaya Group, Garuda Indonesia dan perusahaan asuransi juga mengadakan MT dengan materi beragam, mulai dari aspek manajemen sampai keterampilan khusus. Bahkan, perusahaan start up semacam Grab juga membuat program MT.
Program program itu pada umumnya mensyaratkan peserta dari kalangan warga Indonesia yang baru lulus, baik lulus S1 maupun S2. Persyaratan lain adalah memiliki keterampilan berbahasa Inggris baik. Juga, terdapat persyaratan IPK minimal 3.00. Bahkan, perusahaan seperti PT Wing Indonesia meminta IPK minimal sebesar 3.3.