Dusun Sade, desa Rambitan, tak jauh dari bandara Praya - Lombok Tengah di NTB. Masyarakat Sade sendiri menganut agama Wektu Telu - Sholat 3 kali sehari - Islam dengan pengaruh Hindu dan Buddha, begitu penjelasan dari pak Rakha, sang pemandu wisata warga Sade.
Pak Rakha menceritakan situasi di dusun Sade. Dengan luas 5,5 Hektar, lingkungan ini dihuni oleh keluarga yang mendiami 150 rumah tradisional. Uniknya, kehidupan 700 orang penduduk di dusun Sade ini sangatlah sederhana.
Memang, bangunan rumah masyarakat Sade bisa dikatakan unik. Rumah adat dengan atap rumbia dan lantai terbuat dari kotoran Sapi kering adalah ciri khasnya. Karena menariknya budaya dusun Sade, tak urung Pak Jokowi pada tanggal 18 Mei yang lalu berkunjung ke Sade.
Tulisan ini tidak hendak meliput kunjungan pak Jokowi, namun hendak melihat beberapa budaya masyarakat dusun Sade, khususnya terkait adat perkawinannya dari kacamata yang berbeda dari apa yang ditulis Kompasianer Runi Fazalani.
1. Sejak Lahir Perempuan Diposisikan Inferior
Sejak lahir perempuan Sasak telah disubordinasikan atau dinomorduakan. Mereka selalu dipersiapkan sebagai calon istri laki laki dan mendapat status "ja'ne lalo atau ja'ne tebait si' semamenne".
Ini memiliki makna bahwa perempuan akan meninggalkan orang tua dan untuk kemudian, mereka adalah milik suaminya. Di lain pihak, sejak kelahirannya, seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal sebagai "anak prangge" atau pewaris tahta orang tuanya.
Saya mengamati kebiasaan ibu ibu, anak anak perempuan dan anak anak kecil di area dusun Sade. Nampak bahwa kualitas hidup mereka masih sangat terbatas.
Dari sisi higienis, saya lihat anak kecil mandi sendiri dan sesekali ia minum air dalam bak mandinya dengan gayung mandinya. Beberapa ibu nampak mencari kutu di kepala anaknya. Anak remaja perempuan duduk duduk bersama anak bayi, dan ternyata mereka adalah ibu ibu muda dari perkawinan anak.
2. Merarik Posisikan Perempuan Sebagai Subordinat Laki laki
Penghuni di dusun Sade adalah dari satu keturunan karena masyarakatnya melakukan perkawinan antar saudara. Ini dilakukan karena bagi mereka pernikahan seperti ini mudah dan cukup murah dibandingkan dengan pernikahan dengan perempuan dari desa lain yang harus mengeluarkan beberapa ekor kerbau sebagai mahar.