Antusiasme Pemilih VS Prosedur
Rasanya haru melihat antusiasme warga Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya di banyak tempat di luar negeri di tengah kekuatiran kita akan rendahnya jumlah pemilih. Antrian warga RI yang mengular dilaporkan di Sydney, di Singapore, di Tokyo, dan di banyak tempat lain.
Di Marselle, mahasiswa harus rela antri 10 jam untuk bisa melakukan hak pilihnya. Warga RI di Argentina rela menginap agar bisa nyoblos (Detik.com, 15 April 2019). 90% surat suara di Kroasia dipergunakan (Detik.com, 15 April 2019). 85% warga RI di Lebanon nyoblos Pemilu 2019.
Kitapun bergembira membaca berita soal lancarnya Pemilu di Brussel dan di Cekoslovakia. Ada gairah di sana. Calon pemilih yang berjumlah 2.049.708 dan terdaftar pada Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu Luar Negeri (DP4LN) itu punya suara tentang harapan ke depan.
Tetapi, tunggu dulu! Terdapat laporan tentang warga Indonesia yang gagal nyoblos di TPS di luar negeri. Terdapat kesimpang-siuran proses pemilu di Sydney. Pencoblosan di Hongkong berakhir kecewa. Lalu, kitapun jadi membayangkan beberapa tantangan yang berpotensi muncul pada Hari H.
Tantangan warga yang berniat dan telah pergi ke TPS, tetapi tidak bisa menyoblos dan akhrinya menyandang gelar Golput di penghujung siang 17 April 2018 mengemuka.
Sebetulnya saya telah sempat menulis soal keberadaan Golput yang mendapat kontribusi dari soal administrasi dan prosedur Pemilu. Ini saya tulis di bulan Februari yang lalu pada 'Kemenangan Golput, dari Kecewa, Tanpa Pilihan, dan Gagal Nyoblos Sampai Kemalasan Belaka".
Apa sih yang berpotensi menambah Golput?
'Under estimate' Jumlah Pemilih pada daftar pemilih tambahan (DPTb)?
Pemerintah telah mengumumkan adanya sekitar 275.923 pemilih yang terdaftar sebagai pemilih tambahan dan pemilih yang pindah TPS. Jumlah itu nampaknya akan meningkat dengan signifikan karena pada kenyataannya, mobilitas masyarakat Indonesia juga meningkat.