Pada suatu masa, masyarakat sipil terbukti berhasil mendorong hadirnya perubahan dan demokrasi. Di Afrika Selatan, lebih dari 8.500 orang memprotes rasisme di berbagai bidang pada tahun 1952. Fasilitas transportasi umum seperti kereta apipun menyediakan gerbong khusus untuk bangsa kulit putih. Di Indonesia, ribuan massa dan mahasiswa naik ke atas gedung MPR/DPRRI untuk meminta negara menurunkan Suharto dan menegakkan demokrasi. Ini untuk merespons krisis politik nasional serta berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia dan adanya teror berupa perkosaan masal terhadap perempuan etnis Cina sebagai puncaknya. Dua peristiwa di atas hanyalah dua dari begitu banyak contoh keberhasilan masyarakat sipil melakukan tekanan kepada negara dan masyarakat agar melakukan perubahan mendasar.
Apa itu masyarakat sipil? Siapa mereka?
Definisi masyarakat sipil yang dikembangkan oleh Masnyur Faqih (almarhum), Zbigniew Rau, Han Sung-Joo, atau Kim Sinhyuk dapat jadi rujukan. Secara ringkas, kita dapat memaknai masyarakat sipil atau masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab dan berbudaya. Mereka membangun, menjalani serta memaknai kehidupan bermasyarakat dengan beberapa nilai utama. Nilai utama tersebut, antara lain menjunjung tinggi hak asasi, berkemajuan dan berpengetahuan, melek teknologi, patuh hukum, mampu mengendalikan diri, memiliki kemandirian dan solidaritas serta mengakui norma norma budaya. Untuk itu masyarakat sipil perlu memiliki wilayah publik untuk mengemukakan pendapatnya. Mereka juga harus demokratis dan tidak membedakan masyarakat berdasarkan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Tentu mereka harus santun dalam berinteraksi, bersikap toleran dan memiliki rasa keadilan.
Konsep masyarakat sipil sendiri bukanlah barang baru. Cicero, sang orator Yunani Kuno telah mengemukakannya di tahun 106-43 SM tentang masyarakat sipil sebagai komunitas politik yang beradab, berkode hukum, dan memiliki kewargaan serta sosial budaya. Selanjutnya, dalam Piagam Madinah, suatu konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia, menyebut soal hak-hak sipil atau hak asasi manusia dalam konsep masyarakat madani. Dalam perjalanan waktu, konsep ;civil society' di Eropa muncul pada masa pencerahan Renaissance (1776), yang mana kekuatan masyarakat sipil dilihat melebihi negara. Ini kemudian berkembang sampai masa Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948).
Perjalanan Masyarakat Sipil di Indonesia dan Transisi tak Berkesudahan
Di indonesia, perjuangan masyarakat madani dimulai pada awal pergerakan kebangsaan yang dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Sat itu, jiwa demokrasi Soetan Syahrir harus dihadapkan pada kekuatan represif, baik dari rezim orde lama maupun rezim orde baru. Pada pemakaman Soetan, Bung Hatta berkata dalam pidatonya "Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka".
Di masa Orde Baru (1966 sampai dengan 1998), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga berdiri. LSM yang dimaksud adalah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela dan ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa tujuan keuntungan. LSM inilah yang kemudian sering juga diterjemahkan sebagai Non Government Organizations (NGO). Karena adanya pengertian keswadayaan atau "kemandirian" dalam namanya, LSM seringkali diartikan berseberangan dengan pemerintah, atau "anti-pemerintah".
LSM pertama di Indonesia adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang berdiri tahun 1971. Adnan Buyung Nasution dikenal sebagai salah satu pendirinya. LBH muncul untuk mengadvokasi kasus masyarakat kecil pada masanya, seperti kasus Simprug, kasus pembangunan Taman Mini, pembangunan Lubang Buaya dan sebagainya. LBH, kemudian menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bisa dikatakan ibu dari banyak LSM yang bekerja untuk isu HAM. Kontras dan ELSAM adalah dua di antaranya. Turun naik serta dinamika kerja YLBHI dan LSM yang dilahirkan YLBHI memberi warna masyarakat sipil Indonesia.
Jatuhnya pemerintahan Suharto pada 1998 dan transisi menuju demokrasi telah membawa banyak perubahan. Masyarakat sipil tumbuh, yang diwakili oleh lahirnya LSM. Dalam beberapa hal, LSM mengklaim sebagai organisasi masyarakat sipil (OMS). Pengaruh global memberi kesempatan atas kelahiran mereka, khususnya dalam bentuk dorongan pada pelaksanaan hak, dan penguatan kelembagaan serta mekanisme akuntabilitas di masyarakat. Organisasi masyarakat sipil lama dan baru saling berdinamika dan bekerja agar suara mereka terdengar.
Perpindahan kekuasaan dari Order Baru kepada Habibie memberikan ruang untuk membangun landasan dan kerangka baru dalam demokratisasi. Beberapa legislasi penting hadir, satu diantaranya amandemen konstitusi. Pemilu demokratis dipercepat. Habibie mengusulkan agar masa kerja presiden dibatasi maksimal dua kali.
Bagi masyarakat sipil, masa transisi dengan presiden Gus Dur, Megawati dan SBY tidaklah mudah. Pemerintah transisi membentuk koalisi pelangi, melibatkan sebagian besar partai di parlemen. Konflik Koalisi Pelangi diselesaikan di belakang layar. Di masa presiden SBY, proses demokrasi melibatkan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Untuk itu, SBY menyebutkan bahwa Islam yang bergandengan tangan dengan demokrasi di Indonesia dapat menjadi model bagi negara negara di Arab yang sempat berdinamika. Wajah militer jadi bagian partai politik, memberi pengaruh secara informal pada jalannya roda politik. Namun karena kekuatan elit terlalu kuat maka ruang dan peran masyarakat sipil jadi terbatas. Era ini gagal melawan korupsi dan penegakan hukum. Pada tahun 2005, Munir sang pejuang HAM untuk penculikan aktivis yang diduga dilakukan Tim Mawar dan Kopasus meninggal dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Sampai saat ini kasusnya tidak terkuak. Di era ini YLBHI pecah. Munarman yang sempat menjadi tim Kontras untuk isu Aceh dan menjabat sebagai Ketua YLBHI dipecat pada 2006 karena menolak nilai Pancasila. Ia memilih membentuk Sistem Khilafah melalui Front Pembela Islam (FPI).
Gagap peran masyarakat sipil dalam masa trasisi terus berjalan. Ketidakpastian akan peran baru ini menyebabkan disfungsi kerja OMS. Masyarakat sipil hanya diwakili oleh LSM, paling tidak dari kacamata lembaga donor asing yang mendanai LSM. Ada kesan bahwa proses demokrasi Indonesia didukung oleh donor asing.
Persoalan akuntabilitas menggelayuti LSM. Mereka dianggap tidak berkontribusi pada perubahan. Di lain pihak, Solidaritas Perempuan, LSM perempuan yang bekerja efektif memperkenalkan kesetaraan gender di antara kelompok muslim diberi label 'komunis baru'. Lembaga politik demokrasi seperti parpol, parlemen, dan penegak hukum rentan dimanipulasi dengan cara kotor dan dengan kekerasan.
Pemerintahan Jokowi yang mendorong reformasi administrasi dianggap membawa angin segar di dunia politik. "Kawal Pemilu' yang melibatkan lebih dari 700 orang relawan mengawasi hasil Pemilu melalui Facebook dan sukses menghindarkan Pilpres 2014 dari kecurangan. Hampir semua LSM berbasis HAM mendukung Jokowi kala itu. Mereka kuatir bila Prabowo menang maka akan menjadi pemimpin otoriter. Apalagi Prabowo dianggap bertanggung jawab pada banyak kasus pelanggaran HAM, penculikan aktivis di masa Suharto dan 'May Riots 1998' yang melibatkan penjarahan dan perkosaan ratusan perempuan dari etnis Cina.
Masyarakat sipil di masa pemerintahan Jokowi bukan tanpa tantangan. Bermunculanlah perpecahan di antara kelompok agama, mahasiswa dan juga anggota OMS. Pengaruh kelompok elit kepada kelompok kelompok di masyarakat sipil yang menyebakan fragmentasi memicu persepsi seakan ada fragmentasi di dalam masyarakat sipil. Sistem Khilafah berkembang dan menguat di beberapa wilayah. Media sosial penuh ujar kebencian dan berita bohong. Akhir akhir ini, beberapa LSM, termasuk YLBHI, ELSAM dan AMAN menyatakan golput pada Pilpres 2019. Mereka menganggap pemerintahan Jokowi tidak menepati janjinya untuk melindungi HAM masyarakat pinggiran.
Diakui, pertumbuhan OMS cepat. Pada tahun 2005 tercatat sekitar puluhan ribu OMS (Hans Antlv, et ALL, 2005). Sementara pada tahun 2018 tercatat 390.290 OMS (Indonesia Civil Society Forum 2018). Khusus untuk LSM, SMERU mencatat 2.848 organisasi ada di seluruh Indonesia (Maret 2017). Juga terdapat 40 serikat pekerja di tingkat nasional, 300 serikat pekerja di tingkat lokal, dan lebih dari 1000 asosiasi pekerja di tingkar perusahaan. Organisasi keagamaan, lembaga penelitian, kelompok kerja dan pemikir juga bertumbuh. Angka angka ini merupakan lompatan karena sebelum 1998 hanya terdapat satu organisasi buruh dan satu organisasi petani, dan mereka dalam kontrol pemerintah.