Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Merapi Level 2 Sejak Mei 2018, Kewaspadaan Terlama

Diperbarui: 18 Januari 2019   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri


Pada 1 Juni 2018, entah mengapa saya tertidur lagi sesudah sholat subuh. Dan sekitar jam 8.20 di pagi hari, saya terbangun karena seisi rumah gempar dengan goncangan akibat erupsi Gunung Merapi yang erupsi. Kami semua keluar dan memandang Merapi mengepul dari depan rumah. Gempa itu hanya beberapa menit, tetapi ingatan pada kepanikan masih ada.

Sebagai penghuni desa yang memandang Gunung Merapi setiap hari, status pada level 2 ini tentu membuat kami waspada. Status ini belum berubah sejak ditetapkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pada tanggal 22 Mei 2018 lalu.

Sejak akhir tahun 2018, laporan BPPTKG menunjukkan aktivitas Gunung Merapi yang meningkat. Pada 10 Januari 2019, tercatat Gunung Merapi alami peningkatan volume kubah lava menjadi 439.000 m3.. Pertumbuhan kubah juga mencapai 3.400 m3 per hari. Pada 14 Januari 2019, guguran Gunung Merapi juga terjadi. 

Pada 16 Januari 2019, BPPTKG mencatat terdapat 7 kali guguran. Terkait hal ini, BPPTKG memberikan rekomendasi agar warga tetap tenang dan waspada dan untuk sementara tidak merekomendasikan kegiatan pendakian kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan penelitian berkaitan dengan upaya mitigasi bencana.

BPPTKG mengimbau warga tidak melakukan aktivitas dalam radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi.Pada hari ini, 17 Januari 2019, dicatat terjadi 3 guguran lava selama 6 jam terakhir. 

Akhir akhir ini, bila kami mengendari mobil dari Semarang ke Magelang melalui Kopeng dan Ketep, terasa bahwa kabut tebal hampir selalu menyelimuti. Meski kami melewatinya pada sekitar jam 8.00 pagi. Kamipun tak lagi berani mengendarai mobil setelah jam 17.00. Apa artinya bagi kita?

Kita coba mengenal Merapi. 

Nama Merapi diambil dari bahasa Jawa kuno yang artinya 'yang membuat api'. Karena kisah Merapi telah berjalan ribuan tahun, sejarahpun mencatat. Di masa Sultan Agung, misalnya, dicatat adanya perintan sang Sultan kepada Juru Taman untuk menjaga Gunung Merapi agar keturunan Mataram terhindar dari ancaman gunung api tersebut (Sindonews, 2014). 

Di sisi lain, pada masa Sultan Agung juga, erupsi sempat menggeser corak hidup masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dari berdagang menjadi petani. Selain kesuburan tanah pertanian yang diakibatkan oleh debu vulkanik, Sultan Agung dikabarkan sengaja mendorong masyarakat untuk bertani subsisten agar mereka tidak melakukan pemberontakan. Sultan mencatat bahwa biasanya adalah kelompok yang sering melakukan protes. 

Studi Siti Sehat berjudul Dampak Erupsi Gunung Merapi terhadap Budaya Petani (2010) mencatat pergeseran yang berbeda. Erupsi Gunung Merapi dicatat telah mengubah tipologi agraris masyarakat Jawa Tengah. Banjir lahar dingin akibat letusan Gunung Merapi mengubur sekitar 269,4 hektar di kabupaten Magelang dan 2.270 hektare di Kabupaten Sleman. 

Hal ini menghilangkan mata pencaharian petani di sana. Akibatnya pola hidup para petani kemudian ikut berubah. Mereka kemudian menjalani profesi sebagai kuli pengangkut pasir dan pengambil air minum untuk sementara waktu (Kumparan, 2017).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline