Persoalan terbatasnya akses penduduk lanjut usia (lansia) di Lombok Timur pada layanan kesehatan pasca bencana adalah suatu realitas. Kondisi fisik, penyakit yang dihadapi, jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan, dan terbatasnya sarana transportasi umum menjadi hambatan lansia dapatkan layanan kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dan trauma atas gempa susulan yang masih dirasakan, menambah sulitnya akses lansia pada layanan kesehatan. Lansia menjadi sangat tergantung pada kunjungan tim dokter relawan dan tim kesehatan yang dilakukan dari desa ke desa dan rumah ke rumah.
Layanan dan penapisan status kesehatan penyintas gempa Lombok di 11 desa di Lombok Timur yang dilakukan dokter relawan Sahabat Gema Alam bersama Gema Alam NTB sejak September sampai November 2018 memberi pembelajaran. Dari 1.007 penyintas umum, dicatat terdapat 87 lansia laki laki dan 228 lansia perempuan memeriksakan dirinya. Dari jumlah 315 lansia tersebut, 173 orang di antaranya dilaporkan memiliki tekanan darah tinggi, antara 140 sd 240. Juga dicatat cukup cukup banyak kasus stroke, sakit punggung, sakit kulit, penyakit persendian, dan juga penyakit menular seksual. Lansia melaporkan bahwa tekanan tinggi mereka lebih tinggi dibandingkan dengan tekananan darah pada saat sebelum bencana. Rasa takut dan trauma, di samping pola hidup berkontribusi pada kondisi tersebut. Lansia yang mengalami stroke dan memiliki disabilitas fisik melaporkan adanya tingkat kesulitan mengakses layanan kesehatan yang meningkat pada pasca bencana. Untuk itu, layanan kesehatan perlu dilakukan dengan mendekati penyintas. Kunjungan dari desa ke desa, dari dusun ke dusun, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah dan dari tenda ke tenda merupakan opsi terbaik. Tanpa pendekatan layanan kesehatan keliling, akses lansia pada layanan kesehatan dapat dikatakan tidak ada.
Pada penapisan dan layanan kesehatan di desa Beririjarak di Kecamatan Wanasaba di Lombok Timur, misalnya ditemui kondisi lansia yang memprihatinkan. Dengan berat badan di bawah 40 kilogram dan tidak dapat menerima asupan makan, Pak Zainuddin yang menderita penyakit asam urat yang akut. Kondisi pengungsian di tenda menyebabkan lansia tersebut makin sulit bergerak. Baginya, mengunjungi Puskesmas yang harus ditempuh dengan perjalanan lebih dari 30 menit dengan mobil omprengan bukanlah sesuatu yang mudah.
Di Sembalun, dicatat pula munculnya lansia dengan status baru sebagai kepala keluarga perempuan. Hal ini diseabkan oleh meningkatnya jumlah disabilitas baru yang dialami keluarga, termasuk lansia laki laki. Kondisi ini seperti yang terjadi pada Inaq Dewi. Karena stroke yang dialami suaminya, menyebabkan Inaq Dewi harus bekerja lebih keras untuk mampu menjadi penopang ekonomi keluarga. Untuk itu, terpaksa anaknya yang perempuan juga harus meninggalkan bangku sekolahnya agar dapat merawat sang ayah. Lansia dengan status kepala keluarga perempuan tersebut harus mencari nafkah seorang diri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Lansia perempuan pada umumnya juga merawat lansia laki laki dan tetap menyediakan kebutuhan makan minum keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan lansia perempuan berbeda dengan apa yang dihadapi lansia laki laki.
Persoalan yang lebih serius dihadapi lansia ketika mereka tinggal di tempat terisolir. Dicatat bahwa kondisi lansia yang menjadi pengungsi di wilayah terisolir seperti di dusun Batu Jong, desa Bilok Petung di Kecamatan Sembalun di Lombok Timur sangat mengenaskan. Sampai dengan awal Desember 2018, atau 4 bulan setelah bencana gempa Lombok, lansia di dusun tersebut masih tinggal di bawah tenda yang terbuat dari terpal ala kadarnya. Sementara itu, akses pada layanan kesehatan semakin terbatas dengan jalanan yang turun naik dan tiadanya transportasi umum. Jarak 42 km antara Batu Jong dengan Sembalun sebagai ibukota kecamatan Sembalun cukup sulit karena tiadanya transportasi umum. Sementara jalan berliku juga ada di sepanjang jalan menuju Batu Jong. Hal ini, tidak memungkinkan lansia untuk dapat bepergian ke polindes terdekat ataupun ke Puskesmas di Sembalun.
Di semua desa di wilayah kerja Gema Alam NTB, dicatat pula adanya keterbatasan akses lansia pada hunian sementara (huntara). Terdapat cukup banyak lansia yang tinggal di huntara yang tidak layak, tanpa ventilasi dan terbuat dari bahan terpal panas. Akses lansia pada dukungan dan bantuan sembako dan keperluan dasar seperti baju, selimut juga sangat terbatas.
Nampaknya persoalan terpinggirkannya lansia dari layanan kesehatan dan dukungan ekonomi di Lombok Timur telah terjadi sebelum bencana. Data penduduk lansia di kabupaten Lombok Timur adalah 12.228 orang, sementara jumlah lansia yang mendapatkan layanan kesehatan dan ekonomi hanya 331 (BPS, 2017). Adanya bencana, menyebabkan akses lansia pada layanan kesehatan, sosial dan ekonomi menjadi lebih terbatas. Jarak, keberadaan alat transportasi, keberadaan pendamping menjadi persoalan terbatasnya akses lansia pada layanan kesehatan. Terbatasnya tingkat pendidikan lansia yang separuhnya adalah buta huruf dan berpendidikan rata rata hanya 2,71 tahun (Statistik Penduduk Lanjut Usia, 2017), dan angka tersebut terendah di Indonesia, menjadikan akses mereka pada informasi, termasuk informasi kebencanaan menjadi terbatas. Perhatian pemerintah, para pihak, tim kesehatan, relawan dan masyarakat mumum pada kondisi lansia di masa pasca bencana perlu menjadi pertimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H