Lihat ke Halaman Asli

LEXPress

Biro Jurnalistik LK2 FHUI

Perpeloncoan Mahasiswa Baru dan Konsekuensi Hukum yang Diakibatkannya

Diperbarui: 31 Agustus 2022   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Tahun 2022 menjadi titik balik bagi dunia pendidikan, sebab pada tahun ini akhirnya kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara luring setelah selama dua tahun dilaksanakan daring. Euforia penerimaan mahasiswa baru pun kembali mewarnai dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai kegiatan menyambut mahasiswa baru dibalut secara unik oleh masing-masing universitas. 

Penyambutan mahasiswa baru sepatutnya mampu memberikan kesan yang baik bagi para mahasiswanya. Namun, sayangnya pada beberapa universitas kegiatan penyambutan mahasiswa baru justru menjadi ajang perpeloncoan, tradisi senioritas yang menundukkan mahasiswa baru dengan cara-cara tidak manusiawi. 

Perpeloncoan kerap divalidasi oleh para pelaku sebagai bentuk "pelatihan mental" untuk para junior agar lebih tangguh. Sayangnya, alih-alih menempa mental, praktik perpeloncoan malah berpotensi merusak mental para mahasiswa baru. 

Sebuah studi dari Mercuro dkk. yang berjudul The Effects of Hazing on Student Self-Esteem: Study of Hazing Practices in Greek Organizations in a State College, menyimpulkan bahwa perpeloncoan dapat berdampak negatif pada kepercayaan diri remaja. 

Tak hanya mental, perpeloncoan pun kerap menelan korban jiwa. Misalnya pada tahun 2011 terdapat kasus Awaluddin, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin yang tewas setelah mengikuti kegiatan ospek dan ditemukan luka lebam serta lecet pada bagian tubuhnya atau kasus Jonoly Untayanadi pada tahun 2013, seorang Praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang meninggal saat orientasi kampus. 

Sebelumnya Jonoly diketahui pernah masuk rumah sakit akibat disiksa seniornya (Merdeka.com, 2013). 

Baru-baru ini, aksi perpeloncoan juga viral di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten, Indonesia. Terungkapnya hal ini berawal dari cuitan sebuah akun  dengan nama pengguna @aimenasalma, seorang kerabat dari salah satu peserta. Ia menceritakan saat Technical Meeting para peserta dijemur serta waktu istirahat mereka diburu-buru. 

Selain itu, peserta lain juga turut menyampaikan keluhannya di media sosial, di antaranya terdapat peserta mengalami kekerasan fisik dan juga verbal. Menanggapi kericuhan publik, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Untirta menyampaikan permohonan maaf dan klarifikasi melalui Presiden Mahasiswa BEM Untirta, Ryco Herawan (Tirto, 2022).

Jika intensitas perpeloncoan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang dilakukan pada saat masa orientasi mahasiswa baru membuat dampak yang cukup berat bahkan hingga berujung kepada sebuah tindakan penganiayaan seperti beberapa kasus di atas. 

Maka, tindakan tersebut sejatinya, menurut hemat penulis ditinjau dari segi hukum pidana, pelaku atau oknum yang melakukan tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 351 dan 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. 

Menurut R. Soesilo dalam bukunya KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal yang dibukukan olehnya, menjelaskan bahwa penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline