Lihat ke Halaman Asli

LEXPress

Biro Jurnalistik LK2 FHUI

Audiensi Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual Terkait Implementasi Permendikbud-Ristek PPKS di Universitas Indonesia

Diperbarui: 21 Juni 2022   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@lk2fhui

Kekerasan seksual di lingkungan kampus masih terus terjadi dan diibaratkan seperti fenomena gunung es, di mana kasus kekerasan yang terlihat atau dilaporkan hanya sedikit dibanding dengan realitanya. Tak terkecuali, di lingkungan Universitas Indonesia (UI) masih terjadi kasus kekerasan seksual. Menurut catatan Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021, terdapat 30 kasus kekerasan seksual dengan rincian 11 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), 11 pelecehan seksual, 4 perkosaan, 2 percobaan perkosaan, dan 2 kasus perbudakan seksual. 

Hal ini menunjukkan urgensi dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut dengan Permendikbud-Ristek PPKS untuk menjadi pedoman dalam payung hukum penanganan serta pencegahan kasus kekerasan seksual di UI dan menjadi langkah awal untuk mewujudkan UI yang aman dan terbebas dari kekerasan seksual. 

Pada Senin (20/06/2022), di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual menggelar audiensi terkait implementasi Permendikbud-Ristek PPKS dalam upaya penanganan kekerasan seksual di UI. Dilihat dari status quo penanganan kasus kekerasan seksual di UI saat ini yang merujuk kepada tiga mekanisme umum, yaitu:

  1. Panitia Penyelesaian Tata Tertib (P2T2);

  2. Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib (P3T2); dan

  3. Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran Universitas Indonesia (SIPDUGA UI). 

Menurut pernyataan kritis Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual yang diwakilkan oleh Adam Putra Firdaus, Ketua BEM FH UI 2022 berdasarkan kajian yang telah dilakukan, ketiga mekanisme tersebut belum efektif dan memadai dalam penanganan kekerasan seksual di UI. Malahan cenderung menyulitkan korban dalam memperoleh keadilan mengingat tiga mekanisme ini bukanlah regulasi dan sistem yang secara khusus dan komprehensif mengatur mengenai kekerasan seksual. 

Pembahasan selanjutnya, membahas permasalahan yang timbul dalam penanganan kekerasan seksual di UI dilihat dari kelemahan serta kekurangan pada ketiga mekanisme umum yang dijadikan rujukan selama ini. Pada P2T2 berdasarkan Peraturan Rektor UI Nomor 14 Tahun 2019, terdapat beberapa kelemahan seperti hanya digunakan frasa "pelecehan seksual" dalam pengaturannya. Padahal, menurut Komnas Perempuan setidaknya menyebutkan 15 bentuk kekerasan seksual dan Permendikbud-Ristek menyebutkan 21 bentuk kekerasan seksual yang didalamnya termasuk pelecehan seksual. Hal ini menimbulkan celah dan kemungkinan bagi tidak diakomodasinya bentuk kekerasan seksual lain, seperti perkosaan dan perbudakan seksual. Selain itu, direduksinya makna kekerasan seksual sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan sopan santun semata padahal nyatanya hal tersebut tidaklah sesederhana itu.

Pada P3T2, terdapat kekurangan yang hampir sama dengan poin-poin dalam P2T2 dengan penambahan tidak dimuatnya ketentuan mekanisme pembentukan P3T2, anggota P3T2, serta pelibatan korban dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual. Terkait tidak adanya mekanisme pembentukan anggota P3T2, menjadi highlight bagi Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual yang mengharapkan UI dapat menyeleksi pihak-pihak yang menangani kasus kekerasan seksual sesuai rujukan Permendikbud-Ristek PPKS di mana anggota tersebut harus kompeten, memiliki perspektif gender, dan berperspektif korban yang baik agar dapat menangani kasus dengan cara yang tepat. 

Mekanisme terakhir, yaitu SIPDUGA UI. Kekurangan dari mekanisme ini  adalah digunakannya frasa "pelecehan seksual atau asusila" yang memberikan pengertian jika keduanya merupakan hal yang sama. Selain itu, mekanisme pelaporan dan penanganan kekerasan seksual masih disamakan dengan pelanggaran administratif lainnya. Padahal dalam kasus kekerasan seksual terdapat variabel khusus seperti korban yang trauma serta membutuhkan pemulihan yang menunjukkan kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan pelanggaran lain, seperti pencurian atau plagiarisme. Tak hanya itu, masih diharuskan adanya bukti sebagai prasyarat dalam melaporkan kasus oleh pelapor anonim. Padahal perlu diingat bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual terjadi di ruang privat di mana tidak ada saksi yang melihat atau bukti yang memadai.

Permendikbud-Ristek PPKS yang disahkan tahun 2021 seyogyanya memuat rincian bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual dengan konsekuensi sanksi administratif, mengakui kemungkinan bentuk kekerasan seksual tersebut berkembang, dan mengatur langkah-langkah pencegahan guna mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual. Pada pembahasan terakhir, Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual memberikan rekomendasi dalam pengimplementasian Permendikbud-Ristek PPKS di UI sebagai upaya untuk mewujudkan UI yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Terdapat 5 hal yang perlu diperhatikan oleh UI dalam pengimplementasian Permendikbud-Ristek PPKS ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline