Senin, 19 Juli 2021, Presiden Joko Widodo resmi teken Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).
Presiden Jokowi meneken undang-undang tersebut padahal mendapat pertentangan dari rakyat Papua. Rakyat Papua merasa bahwa UU Otsus yang terbaru ini lebih memberatkan mereka sebagai penduduk Papua. Walau ditentang oleh Rakyat Papua, usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini tetap disetujui dan diteken oleh Presiden Jokowi dengan beragam penolakan.
UU Revisi Otsus Papua sebelumnya telah disahkan oleh DPR RI pada Rapat Paripurna di gedung DPR pada tanggal 15 Juli 2021. Terdapat beberapa pasal yang mengalami perubahan dari aturan sebelumnya, diantaranya adalah pasal 34 yang mengatur tentang dana otonomi khusus untuk Papua dan pasal 76 yang mengatur tentang pemekaran wilayah otonomi khusus di Pulau Papua.
Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib, mengkritisi proses pembentukan UU Revisi Otsus Papua ini. Timotius menyatakan bahwa dalam pembentukannya, DPR tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat Pasal 77 UU Otsus Papua menyatakan bahwa amandemen (dilaksanakan) berdasarkan usulan rakyat Papua melalui MRP dan DPRP (Tempo, 2021).
Di sisi lain, Komarudin Watubun, Anggota Komisi II DPR Fraksi PDI-P yang ditunjuk sebagai Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Otsus Papua, menyatakan bahwa RUU Otsus Papua ini mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi orang asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat (DPR RI, 2021).
Terdapat beberapa perubahan yang disoroti dalam UU Otsus Papua terbaru. Contohnya seperti pasal 34, dimana terdapat peningkatan Dana Otonomi Khusus yang sebelumnya berjumlah 2% dari plafon Dana Alokasi Umum nasional, menjadi 2,25% dan juga perubahan di pasal 76 mengenai pemekaran, dimana kini Pemerintah dan DPR memiliki kewenangan untuk melakukan pemekaran daerah otonom di Pulau Papua.
Sebelumnya, kewenangan ini hanya dipegang secara eksklusif oleh MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Perubahan regulasi mengenai pemekaran ini juga yang akhirnya memicu penolakan terhadap UU Revisi Otsus Papua ini dari berbagai pihak.
Menanggapi hal ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, usul agar pemerintah dapat melakukan pemekaran wilayah disebabkan persetujuan dari MRP dan DPRD rawan menemui jalan buntu. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya deadlock, pasal ini dimasukkan ke dalam UU Revisi Otsus Papua (Kompas, 2021).
Terdapat juga hal yang menarik untuk disorot, yaitu dibentuknya sebuah badan khusus untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua (BKP3) yang diketuai oleh Wakil Presiden, Ma'ruf Amin. Komarudin Watubun menyatakan adanya badan khusus ini adalah sebagai tanda kehadiran istana di Papua (Indozone, 2021). Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Revisi UU Otsus Papua, memuat peran serta yang cukup dominan dari pihak pemerintah dalam perkembangan daerah Papua.